Selasa, 02 Desember 2014

RAINBOW SAFETY PROGRAM : PROGRAM K3 BERBASIS SAFETY AWARENESS

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) semakin dirasa penting dalam mendukung kinerja industri. Bukan hanya untuk memenuhi regulasi, Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan hak asasi dari setiap pekerja. Dan akhir-akhir ini Keselamatan dan Kesehatan Kerja menjadi fokus manajemen karena K3 mempengaruhi nilai jual suatu perusahaan. Untuk itu diperlukan program yang bisa menjamin bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja terselenggara dengan baik di setiap tahap pekerjaan dalam industri.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai suatu program didasari pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau memperkecil terjadinya bahaya (hazard) dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan kecelakaan, maupun kerugian-kerugian lainya yang mungkin terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pendekatan ilmiah dan praktis dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko kesehatan dan keselamatan yang mungkin terjadi. Dengan kata lain hakekat dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tidak berbeda dengan pengertian bagaimana kita mengendalikan risiko (risk management) agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
b. Permasalahan
Berdasarkan data dari National Safety Council, kecelakaan kerja 88% disebabkan oleh tindakan tidak selamat, 10% disebabkan oleh kondisi tidak selamat, dan 2% disebabkan oleh kondisi alam. Tingginya kontribusi tindakan tidak selamat terhadap kejadian kecelakaan kerja bukan disebabkan oleh tidak adanya Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tetapi kebanyakan Program K3 yang ada hanya sekedar mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Program K3 sangat jarang yang memiliki tujuan untuk menumbuhkan kesadaran pekerja terhadap keselamatan. Atau terkadang tujuan tersebut secara tertulis telah ditetapkan, tetapi program-program yang ada di dalamnya tidak dapat menumbuhkan kesadaran pekerja akan keselamatan.
Seperti kejadian terbaru, kecelakaan kapal di Korea Selatan telah membuat dunia berduka. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 17  April 2014 ini  telah menenggelamkan  kapal Sewol dan penumpang kapal sebanyak  475 orang, yang sebagian besar adalah para pelajar SMA yang akan melakukan karyawisata. Hasil investigasi sementara menemukan beberapa tindakan tidak selamat yang dilakukan oleh kru telah membawa kondisi kapal menjadi berbahaya, tindakan tersebut yaitu : Kapten mendelegasikan tugasnya  menahkodai kapal kepada kru yang tidak berpengalaman sehingga saat kru membelokkan kapal yang terjadi  adalah kemiringan kapal cukup tajam dan membuat kapal dengan bobot  6325 ton  dengan membawa 180 mobil dengan berat muatan 1100 ton lebih mengalami kemiringan dan akhirnya tenggelam. Sementara itu  upaya pertolongan pertama tidak berjalan sesuai prosedur, hal ini dikarenakan para awak tidak dilatih dengan seharusnya. Terlebih kondisi sekoci yang berjumlah 46 hanya satu yang berfungsi. Korban tewas sebanyak 177 orang. Hal ini  membuat menteri  Perhubungan Republik Korea Selatan  harus mengundurkan diri. (www.asia.news diunduh Senin, 13 Mei 2014). Dari peristiwa tersebut dapat diambil pelajaran bahwa probabilitas terjadinya suatu kecelakaan salah satunya ditentukan oleh tindakan tidak selamat pekerja, dan tingkat keparahannya ditentukan oleh kualitas dari tindakan mitigasinya.
Tindakan tidak selamat dapat terjadi karena ketidaktahuan pekerja terhadap bahaya yang ada pada pekerjaan dan di tempat kerjanya, atau bisa jadi pekerja telah mengetahuinya tetapi tidak memiliki kesadaran untuk mengelola bahaya tersebut dan bertindak selamat. Untuk mengatasi ketidaktahuan pekerja terhadap bahaya/ risiko pekerjaan, telah banyak jenis program yang dilakukan, mulai dari pendidikan dan pelatihan, safey talking, safety brieffing, hingga poster-poster tanda bahaya yang dipasang di tempat kerja. Tetapi dalam kenyataannya, angka kecelakaan kerja yang disebabkan oleh tindakan tidak selamat masih tinggi. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran pekerja untuk bertindak selamat walaupun telah mengetahui risiko dan bahaya dari pekerjaannya. Untuk itu perlu disusun program yang secara bertahap dan berkesinambungan mampu menumbuhkan kesadaran pekerja.

BAB II
RAINBOW SAFETY PROGRAM


Rainbow Safety Program merupakan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang didasarkan pada kesadaran akan keselamatan (safety awareness) dari setiap pekerja. Sub Program dan kegiatan yang diselenggarakan memiliki tujuan utama sebagai stimulus untuk menumbuhkan kesadaran akan keselamatan. Dengan adanya kesadaran, diharapkan keselamatan akan menjadi budaya baik bagi individu maupun organisasi. Dengan begitu kerja Local Rules Layer dan Regulation Layer akan semakin mudah dikarenakan keselamatan telah menjadi kesadaran, kebiasaan, dan budaya bagi tiap individu dan organisasi. Keempat Colour Layer ini ditingkatkan terus menerus (continual improvement) sesuai kemajuan teknologi dan kebutuhan organisasi. Kelima colour layer ini kami beri warna berbeda seperti warna pelangi, sehingga kami menamakan program ini sebagai Rainbow Safety Program.
a. Safety Awareness
Sub-Program Safety Awareness ini menjadi bagian terdalam dari Rainbow Safety Program yang kami susun sebagai stimulus menumbuhkan kesadaran akan keselamatan. Sehingga akan menjadi pondasi yang kuat bagi tumbuhnya budaya keselamatan (safety culture). Dengan kata lain, safety awareness menjadi jiwa atau roh dalam rainbow safety program. Untuk itu, kegiatan-kegiatan yang dibuat didalamnya diharapkan dapat menjadi pemantik bagi tumbuhnya kesadaran akan keselamatan. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini dapat berupa pendidikan dan pelatihan, penyusunan identifikasi bahaya yang dilakukan oleh pekerja, dan suggestion system yang kami jadikan ciri khusus dari rainbow safety program ini. Suggestion system merupakan wadah bagi pekerja untuk menemukan potensi bahaya yang ada pada pekerjaan dan tempat kerjanya. Tidak hanya berhenti di situ, suggestion system mengharuskan pekerja tersebut menemukan solusi untuk mengurangi atau mengelola potensi bahaya yang ada.
b.  Safety Culture
Akhir-akhir ini budaya keselamatan menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dalam bidang keselamatan. Tetapi jarang yang membahas bagaimana budaya keselamatan tersebut dapat dibangun dengan baik. Kesadaran akan keselamatan menjadi dasar yang sempurna bagi tumbuhnya budaya keselamatan. Ketika budaya keselamatan itu telah diterapkan dengan baik, berarti telah dilakukan pembangunan keselamatan dari sisi tata nilai seperti yang ada pada dokumen Safety Culture yang dikeluarkan International Atomic Energy Agency (IAEA, 2002) sebagai berikut :
1. Prioritas utama terhadap keselamatan. Banyak organisasi yang menyatakan bahwa keselamatan adalah prioritas utama, tetapi tindakan dan perilakunya tidak sesuai dengan nilai yang dianutnya. Kredibilitas organisasi akan merosot jika kenyataannya tidak konsisten dengan tata nilai yang ada.
2. Keselamatan selalu dapat ditingkatkan. Organisasi tidak akan puas begitu saja dengan performa kerja dalam keselamatan. Tata nilai ini akan mencerminkan adanya penerapan terhadap pengkajian diri
3. Keterbukaan dan komunikasi. Komunikasi yang baik diperlukan dalam suatu organisasi. Pekerja mendapatkan saran untuk mendiskusikan masalah mereka baik secara kelompok ataupun individual. Organisasi dapat menggunakan saluran komunikasi untuk menjadi jembatan antara pekerja. Suatu organisasi akan secara terus menerus mendorong suasana keterbukaan diantara para karyawannya.
c.  Local Rules
Local Rules dalam Rainbow Safety Program diterjemahkan sebagai peraturan perusahaan yang dibuat, diterapkan, dan harus dipatuhi oleh seluruh elemen yang ada dalam perusahaan tersebut. Peraturan ini mulai dari instruksi kerja, Standard Operational Procedure, hingga komitmen dan kebijakan dari manajemen. Local Rules menjadi lapisan (layer) pelindung bagi safety awareness dan safety culture.
d.  Regulation
Regulasi menjadi dasar pemenuhan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Regulasi tersebut bisa berupa peraturan/ traktat internasional, peraturan perundangan, dan perutaran pemerintah. Hampir sama dengan fungsinya pada swiss cheese model, regulasi merupakan external barrier bagi penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja. Pada Rainbow Safety Program ini, regulasi bersama Local Rules merupakan lapisan (layer) pelindung bagi safety awareness dan safety culture dalam menjamin penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja.
e.  Continual Improvement
Perbaikan berkelanjutan dilakukan untuk setiap lapisan (layer) dalam program ini. Perbaikan ini dilakukan secara  berkala baik untuk sebagian lapisan dalam program, atau untuk keseluruhan lapisan program. Perbaikan sebagian dapat dilakukan jika perbaikan tersebut tidak mengubah atau mempengaruhi kinerja lapisan yang lain.

Untuk mulai membangun Rainbow Safety Program ini lebih mudah dilakukan mulai dari mengidentifikasi regulasi yang harus dipenuhi. Kemudian dibuat kerangka kebijakan dan dokumen dalam pemenuhan regulasi tersebut. Setelah adanya komitmen dan kebijakan, keselamatan dan kesehatan kerja mulai dibudayakan di dalam organisasi kerja. Dan secara bertahap, budaya ini diharapkan mampu meresap dalam setiap individu di dalam organisasi.
Sedangakan dalam tahap pelaksanaan, kesadaran akan keselamatan (safety awareness) menjadi roh atau jiwa untuk mendukung lapisan (layer) yang lebih luar.

BAB III
SUGGESTION SYSTEM
Suggestion System merupakan kegiatan yang ada dalam lapisan safety awareness yang disusun untuk menumbuhkan kesadaran pekerja akan keselamatan. Suggestion System adalah wadah bagi pekerja untuk berperan aktif dalam mengidentifikasi bahaya yang ada pada pekerjaan dan tempat kerjanya. Tidak hanya berhenti di situ, tetapi pekerja diberi kesempatan untuk memberikan ide atau solusinya untuk mengurangi, mengelola, atau bahkan menghilangkan potensi bahaya yang ada. Program ini secara berkala  dikompetisikan kepada setiap pekerja pada setiap bagian yang ada dalam perusahaan. Penilaian dalam kompetisi ini didasarkan pada banyaknya bahaya yang teridentifikasi, besarnya potensi kerugian dari bahaya tersebut, kualitas dari ide kreatif dalam mengurangi, mengelola, bahkan menghilangkan bahaya tersebut, dan perbandingan besarnya potensi kerugian dengan besarnya dana yang dibutuhkan untuk perbaikan.
Ada beberapa catatan yang perlu dilakukan terkait program ini, yaitu :
Training terkait HIRADC dan Suggestion System untuk semua karyawan demi pelaksanaan sub program safety awareness
Tingkat pemenuhan target produksi
Data prosentase tindakan selamat dan tidak selamat (sumber data dari identifikasi HIRADC)
Data 5 kondisi yang selamat dan tidak selamat (sumber data dari identifikasi HIRADC)
Leading indicator (mungkin bisa dilihat dari tingkat partisipasi departemen/ jumlah identifikasi bahaya dari masing-masing departemen)
Lagging indicator : Data statistik terkait LTI (jumlah kecelakaan yang terjadi, apakah bisa mengurangi kasus kecelakaan yang ada).

Ketentuan Pelaksanaan kegiatan Suggestion System (SS) :
1. Ide SS dilakukan oleh personal (berdasarkan daftar temuan/ permasalahan yang dirasakan oleh operator di tempat kerja)
2. Ide SS dituangkan dalam form SS dengan identifikasi : 
Nama inisiator
Departemen
Judul perbaikan
Keterangan permasalahan dan rencana perbaikan
Foto dokumentasi Before – After terkait perbaikan
Kelebihan dari sisi Safety, Health, Environmental, Quality, Cost, Delivery, dan Moral.
Pengesahan oleh supervisor
3. Tiap bulan akan dilakukan presentasi terkait temuan dan perbaikan yang sudah dilakukan, dan presentasi dihadiri oleh Top Management sebagai bentuk komitmen dari Pimpinan dalam program ini.
4. Penilaian dilakukan oleh Tim SS (ada Tim tersendiri untuk sistem pelaksanaan SS ini, anggotanya lintas departemen, mulai dari keselamatan, produksi, pemeliharaan, hingga anggaran. Tujuannya untuk memperlancar pelaksanaan ide perbaikan dan penilaian dari berbagai aspek)
5. Perhitungan penilaian punya perhitungan tersendiri berdasarkan aspek-aspek Safety, Environmental, Quality, Cost, Delivery, dan Moral.
6. Data yang ada pada form SS terkait Safety, Health, Environmental, Quality, Cost, Delivery, dan Moral yang telah ditulis oleh initiator SS akan menjadi pertimbangan oleh Tim. (Jadi aspek Safety, Health, Environmental, Quality, Cost, Delivery, dan Moral adalah berdasarkan pertimbangan initiator dan Tim Penilai).
7. Departemen pemenang akan mendapatkan reward sebagai bentuk dukungan penuh dari manajemen. Reward yang diberikan diusahakan agar selalu bervariasi untuk memelihara program bisa selalu berjalan dan menarik pekerja untuk ikut aktif dalam program tersebut.
8. Departemen yang tidak menang namun ikut berkontribusi, tetap mendapatkan apresiasi berupa souvenir.
9. Setiap 6 bulan sekali akan diadakan review terkait pelaksanaan SS ini. Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana kontribusi karyawan terhadap program. Jika masih rendah, segera lakukan upaya motivasi dari Tim Manajemen dan pimpinan masing-masing departemen. Kegiatan review ini bisa dilakukan bersamaan dengan aktivitas manajemen review dan update HIRADC yang selalu dilakukan setiap 6 bulan sekali.
10. Pelaksanaan teknis program SS ini dikontrol oleh Tim HSE demi keberlangsungan pelaksanaan program. Setiap tahun dibuatkan event semacam konvensi untuk memperlombakan ide SS dan perbaikan yang sudah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun terakhir untuk bisa memberikan penilaian departemen yang aktif turut berperan serta dan melakukan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan di tempat kerja masing-masing. Konvensi dilakukan di luar area kantor agar suasana lebih bersemangat.
Hasil identifikasi dan perbaikan dari program SS ini akan dimasukkan dalam dokumen identifikasi bahaya (HIRADC) yang baru dan penyesuaian prosedur terhadap kondisi yang baru.
Diharapkan dengan program ini menjadi stimulus bagi pekerja untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap potensi bahaya dan keselamatan yang ada di sekitarnya. Dengan begitu rasa memiliki (ownership) terhadap pekerjaan dan tempat kerja akan meningkat.
Di samping kegiatan SS ini, penyusunan HIRADC dilakukan mandiri oleh pekerja dan operator, kemudian diperiksa oleh supervisor. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan sebagai stimulus untuk menumbuhkan kepedulian dan kesadaran organisasi kerja dari tingkat terbawah terhadap keselamatan di tempat kerjanya.

BAB IV
PENUTUP
Rainbow Safety Program merupakan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang bertujuan dan berjiwakan kepedulian dan kesadaran terhadap keselamatan. Rainbow Safety Program terdiri dari lapisan safety awareness sebagai intinya, dilapisi oleh safety culture, local rules, dan regulation dan didukung oleh perbaikan berkelanjutan (continual improvement) untuk keempat lapis tersebut.
Suggestion System (SS) merupakan kegiatan khusus yang kami susun sebagai ciri untuk mencapai tujuan utama dari Rainbow Safety Program, yaitu tumbuhnya kesadaran dan kepedulian terhadap keselamatan. Tujuan dari pelaksanaan suggestion system adalah :
1) Meningkatkan awareness semua karyawan akan pentingnya safety
2) Meningkatkan pengetahuan dan tingkat respon seseorang terhadap keselamatan diri dan lingkungan di tempat kerja
3) Peka terhadap bahaya yang ada di sekitar
4) Mengetahui sejauh mana tingkat awareness terhadap safety
5) Menunjukkan adanya kepedulian dan komitmen dari manajemen terhadap safety

DAFTAR PUSTAKA
--. Undang- Undang  Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
--, Pencegahan Kecelakaan, 1989, ILO, Seri Manajemen No 132.
Suma’mur P.K, 1989, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan.
Rijanto, Boedi, 2011 Pedoman Pencegahan Kecelakaan di Industri.
IAEA, 2002. Safety Culture. Wina.

Disusun oleh : Adi Gail, Heri Haryono, Moch Romli, Nurlina, Syelvira Yonansha, Wansu Zusino, Wisnu Hidayat.

Rabu, 19 November 2014

MANAJEMEN K3 DAN SISTEM MANAJEMEN K3





.    Jelaskan mengapa harus ada manajemen K3 ?
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai pendekatan sistematis yang dilakukan di tempat kerja untuk :
·         membagi tanggung jawab terhadap tindakan yang terkait kesehatan dan keselamatan di tempat kerja;
·         menetapkan standar kerja dan kerangka kerja untuk  mencapai standar tersebut;
·         memberikan penekanan terhadap pengaturan kesehatan dan keselamatan kerja;
·         memfasilitasi penegakan aturan.
(Gallagher, 1997)

2.    Jelaskan apa itu SMK3? Jelaskan bedanya dengan Manajemen K3?
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebuah sistem yang menghubungkan dan menyusun urutan proses guna mencapai tujuan tertentu, serta menciptakan suatu cara pengelolaan K3 yang teridentifikasi dan dapat dilakukan terus menerus.
Perbedaannya dengan manajemen K3 adalah proses yang bisa menjadi bagian dari SMK3 dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan sumber daya dan lain sebagainya untuk mencapai keselamatan dan kesehatan untuk pekerja.
(Gallagher, 1997)

3.    Jelaskan perbedaan systematic management dan management system?
Systematic Management
à Suatu cara yang teratur untuk melakukan sesuatu.
à Jumlah yang terbatas pada dasar-dasar yang harus dipenuhi untuk suatu sistematic management tertentu, bisa diaplikasikan untuk ruang lingkup yang relatif kecil/ jumlah yang sedikit.
Management system
à Rangkaian kegiatan manajemen yang teratur dan saling berhubungan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
à Suatu interaksi pada proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai tujuan yang dilakukan secara efektif dan efisien.
à Semua persyaratan/ dasar/prinsip harus terpenuhi. Ketika persyaratan sistem tidak terpenuhi/ tidak sesuai maka hal/ kondisi tersebut bisa diartikan tidak bisa diaplikasikan karena tidak memenuhi persyaratan.
Untuk perusahaan yang tidak memiliki sumber daya yang cukup, systematic management dapat diterapkan dalam pengelolaan perusahaan. Sedangkan untuk management system biasanya membutuhkan sumber daya yang besar, dan hanya perusahaan besar yang mampu menerapkannya dengan baik.
(Gallagher, 2001)

4.    Apa yg melatarbelakangi disusunnya SMK3? Jelaskan mengapa harus ada sistem manajemen K3?
Yang melatarbelakangi disusunnya SMK3 adalah
  Peristiwa Bhopal Desember 1984 yang menewaskan dua ribu lima ratus (2500) orang dan terdapat penderita keracunan berjumlah sepuluh kali lipatnya. Kejadian ini cukup mengguncang dunia , sehingga setelah  dianalisis mendapa t kesimpulan bahw a pentingnya manajemen K3 terintegrasi dengan manajemen proses lainnya. Hal ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengubah manajemen K3nya menjadi sistem manajemen;
  Merupakan kebutuhan organisasi  perusahaan baik untuk internal  (lancarnya proses produksi) maupun eksternal  (mematuhi  legislasi, kontrak kerja).
Mengapa harus ada SMK3 :
Manajemen K3 sebagai upaya membuat mekanisme pencegahan terjadinya celaka dan sakit  tidak dapat berdiri sendiri  harus terintegrasi dengan manajemen keseluruhan karena proses celaka dan sakit dimulai dari hulu-hilir. Untuk hasil yang optimal keseluruhan input-proses maupun output  diperusahaan harus selalu memperhatikan aspek K3. Sistem manajemen K3 merupakan jawaban agar perusahaan berkomitmen untuk memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan agar produktivitas yang ditargetkan dapat terwujud tanpa hambatan. Tanpa Sistem manajemen K3   Manajemen Pusat  tidak dapat memprediksi hambatan dan  kerugian yang mengakibatkan perusahaan tidak berjalan sesuai rencana.
(Gallagher, 1997)
5.    Apa yang dimaksud traditional management dan innovative management dalam pengelolaan K3 di tempat kerja ?
      Traditional management :
  1. H&S terintegrasi pd aturan supervisor, org yg berpengaruh adlh supervisor dan atau ahli K3
  2. Karyawan mgkn terlibat, tapi tidak terlalu penting pd pelaksanaan K3
  3. Fokus pada manajemen orang/ perilaku atau pada teknis/program/aturan untuk mengidentifikasi atau mengurangi bahaya
      Innovative management :
  1. Manajemen yg mempunyai peranan penting
  2. K3 terintegrasi pada sistem manajemen yang lebih luas
  3. Keterlibatan karyawan sangat penting dalam pelaksanaan dan ada mekanisme untuk meningkatkan keterlibatannya
(Gallagher, 2001)

6.    Apa yang dimaksud “safe place” control strategy dan “safe person” control strategy dalam pengendalian bahaya di tempat kerja ?
Keduanya merupakan strategi pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja. “Safe place” menitikberatkan pada pengendalian bahaya di tempat kerja. Sedangkan “safe person” lebih fokus pada pengendalian perilaku pekerja.
(Gallagher, 2001)

7.    Jelaskan kelemahan & kelebihan dari masing-masing pendekatan K3 tersebut ?
Pendekatan tradisional
  Menurut Heinrich , berfokus pada tersedia training yg cukup, seleksi karyawan, dan pengawasan untuk mengontrol tindakan tidak aman. (Ray, 1993:193).
  berakar pada struktur organisasi Taylorist dan pelaksanaannya (aturan keselamatan, komite keselamatan, banners dan poster serta investigasi kecelakaan) tidak dipengaruhi oleh teknik manajemen modern (Rahimi, 1995:85)
  Management concern persepsi yg terbatas pada kepatuhan dengan minimal standard peraturan
  Dawson et al (1987)   sistem kontrol teknis, penekanan pd identifikasi bahaya dan pengendaliannya tertutupi oleh sistem manajemen/orang.
  Teori motivasi pada karyawan kurang bertanggungjawab atau malas dgn memberi hadiah seperti umpan balik postive, uang dll.

Pendekatan Inovatif :
  Diartikan sebagai hasil dari sebuah strategi kesadaran integrasi HS kedalam sistem manajemen luas dan pelaksanaannya seperti sistem  Total Quality Management
  fleksibel, adaptive, learning organisations. Integration, konsep kunci pola pikir manajemn modern.
  konsultasi dan integrasi (Else's)
(Gallagher, 1997)

8.    Apakah integrasi SMK3 dalam Manajemen Organisasi sangat bermanfaat dalam mencegah kecelakaan kerja ?
Integrasi SMK3 dalam manajemen organisasi sangat bermanfaat untuk mengontrol dan mengurangi kegagalan nyata dan tersembunyi (obvious and latent failure), khususnya yang terkait dengan masalah kualitas yang disebabkan oleh sistem.
(Gallagher, 1997)

KESIMPULAN
  Manajemen K3 diperlukan dalam suatu perusahaan untuk membagi tanggung jawab dan tugas terkait K3, menetapkan standar kerja untuk mencapai target yang diinginkan, dan memfasilitasi penegakan aturan tentang K3. Manajemen K3 merupakan bagian dari Sistem Manajemen K3. Sistem Manajemen K3 adalah sebuah sistem yang menghubungkan dan menyusun urutan proses guna mencapai tujuan tertentu, serta menciptakan suatu cara pengelolaan K3 yang teridentifikasi dan dapat dilakukan terus menerus.
  Dalam penerapan SMK3 digunakan pendekatan traditional management dan innovative management. Traditional management memiliki pendekatan terhadap “safe person” control strategy yang lebih menitikberatkan pada pengendalian perilaku pekerja. Sedangkan innovative management memiliki pendekatan terhadap “safe placecontrol strategy yang lebih berfokus pada pengendalian bahaya di tempat kerja.

REFERENSI
Gallagher, Clare. Health & Safety Management Systems : An Analysis of System Types and Effectiveness. National Key Centre in Industrial Relations. 1997.

      Gallagher, Clare. Occupational Health and Safety Management Systems. National          Occupational Health and Safety Commision. Sydney. 2001.

Kamis, 02 Oktober 2014

PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN


Pengamanan rokok adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan (PP Nomor 19 Tahun 2003).
Sebanyak 57 juta penduduk Indonesia merokok pada tahun 2004. Sebanyak 78 % perokok mulai merokok sebelum umur 19 tahun. Dan kenyataan buruknya, lebih dari 97 juta penduduk Indonesia dan 70 % anak-anak di bawah umur 15 tahun adalah perokok pasif yang terus menerus terpapar asap rokok. Dari statistik tersebut, setiap tahun 200.000 orang meninggal akibat merokok. Biaya kesehatan untuk mengobati penyakit yang terkait dengan merokok mencapai 2,9 hingga 11 triliun rupiah per tahun. Pada tahun 2005, rumah tangga dengan perokok menghabiskan 11,5 % pengeluaran rumah tangganya untuk konsumsi tembakau (Sarah Barber, 2005). Dalam data 2 tahun terakhir, jumlah perokok terus mengalami peningkatan. Tahun 2011 jumlah perokok di Indonesia sebayak 61,4 juta perokok, dan tahun 2012 meningkat menjadi 62,3 juta perokok (Apriliani Gita F., 2012).

Untuk meminimalisir bahaya rokok ini, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 81 tahun 1999 tentang penanggulangan Masalah Merokok bagi Kesehatan. Peraturan ini mengatur agar kandungan tar/ nikotin pada rokok dibatasi, maksimum 20 mg untuk tar dan 1,5 mg untuk nikotin. Selain itu, melarang total iklan rokok di media massa dan elektronik. Tetapi kemudian PP ini dimentahkan dengan PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang di dalamnya mengindikasikan pemerintah melemah dalam mengatasi masalah merokok. Masalah rokok menjadi dilema bagi pemerintah, di satu sisi hasil cukai rokok menghasilkan kontribusi yang besar bagi APBN, tapi di sisi lain penanggulangan kesehatan akibat merokok juga membutuhkan dana dan usaha yang besar.  Selain peraturan tersebut, Pemda DKI Jakarta memberikan terobosan dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur (PerGub) Nomor 75 tahun 2005 yang diubah dengan PerGub Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Tetapi pengawasan terhadap implementasi peraturan ini hanya terdengar gaungnya di awal penerapan, setelah itu tidak ada konsistensi terhadap pengawasannya.


Dilihat dari data perokok yang terus bertambah setiap tahunnya, dan dampak luas yang diakibatkan oleh merokok, perlu untuk mendesak pemerintah memberikan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada aspek dampak (khususnya kesehatan) dibandingkan dari sisi pendapatan negara. Rekomendasinya adalah dengan meningkatkan cukai rokok dan menerapkannya secara seragam (tidak ada penjenjangan). Diharapkan dengan peningkatan cukai rokok, daya beli masyarakat (khususnya anak/remaja dan golongan kurang mampu) terhadap rokok menurun dan peningkatan pendapatan negara dari cukai tersebut digunakan untuk membangun daerah yang terkena imbas penurunan konsumsi rokok/tembakau. Rekomendasi lain, jika dikaitkan dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),  iuran yang dibayarkan oleh perokok 20% lebih besar dibandingkan non-perokok, hal ini untuk menyadarkan perokok bahwa mereka memiliki risiko sakit yang lebih besar. Kemudian terkait dengan kawasan dilarang merokok, pengelola gedung tidak hanya menyediakan ruangan untuk merokok, tetapi juga mengatur sistem tata udara gedung agar asap rokok dari ruangan tersebut tidak menyebar ke ruangan lain. Lebih baik lagi jika ruang merokok dibuat terpisah dari gedung utama, selain tidak mencemari tata udara gedung, juga memberikan efek “malas” untuk merokok karena harus berjalan cukup jauh menuju ruangan tersebut. 

Disusun dari berbagai sumber.

Senin, 01 September 2014

INDUSTRIAL HYGIENE DAN INDUSTRIAL HYGIENIST


Latar Belakang
Dalam prinsip dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja ada beberapa aspek yang saling terkait guna menciptakan tempat kerja yang aman, selamat, dan sehat bagi pekerja. Aspek-aspek tersebut terdiri dari keselamatan itu sendiri (safety), ergonomi, kesehatan kerja, higiene industri, dan aspek perilaku. Aspek keselamatan (safety) dilaksanakan agar tidak terjadi insiden atau kecelakaan. Aspek ergonomi memperhitungkan kesesuaian antara pekerja dengan lingkungan kerja, peralatan dan perlengkapan kerja, dan atau pekerjaannya itu sendiri. Aspek kesehatan kerja merupakan upaya untuk menjaga kesehatan pekerja dengan usaha promotif, preventif, hingga rehabilitatif atau kuratif. Sedangkan aspek perilaku berupaya membangun kesadaran baik individu maupun organisasi untuk berbudaya keselamatan dan menjunjung keselamatan sebagai nilai, bukan sekedar sebagai program.
Selain  keempat aspek di atas, higiene industri melengkapi upaya keselamatan dan kesehatan kerja dengan memonitor dan mengendalikan paparan-paparan bahaya dalam skala kecil tetapi bersifat kronis terhadap kesehatan pekerja. Dalam penerapannya, higiene industri terkait dengan upaya kesehatan kerja dalam mencegah terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan upaya keselamatan kerja untuk mencegah terjadinya injuri atau cidera.





Gambar 1. Aplikasi Kesehatan Kerja, Higiene Industri, dan Keselamatan Kerja di Tempat Kerja (Sjahrul, 2014)




                                                
  









Higiene Industri
Higiene industri adalah ilmu dan seni yang mencakup antisipasi, rekognisi, evaluasi, dan pengendalian terhadap bahaya kesehatan kerja/ faktor lingkungan kerja atau stress, yang timbul di atau dari tempat kerja, yang dapat menyebabkan sakit, gangguan kesehatan dan kehidupan, atau ketidaknyamanan yang berarti dan ketidakefisienan pada pekerja atau warga masyarakat.
Higiene industri meliputi pengembangan langkah-langkah korektif untuk pengendalian bahaya terhadap kesehatan dengan jalan menghilangkan atau mengurangi paparan. Prosedur pengendalian ini dilakukan seperti dalam hirarki pengendalian risiko yang dilakukan dengan mengganti atau mengurangi bahan berbahaya di tempat kerja, melakukan rekayasa disain seperti dengan pemasangan sistem ventilasi, pengendalian administrasi dengan peraturan atau prosedur kerja, dan penyediaan alat pelindung diri yang tepat.
Program higiene industri yang efektif terdiri dari tahap antisipasi dan rekognisi, pengukuran dan evaluasi, serta pengendalian terhadap bahaya kesehatan yang timbul dari proses kerja. Bahaya kesehatan kerja adalah sebagai kondisi yang menyebabkan penyakit, atau juga dapat diartikan sebagai kondisi di tempat kerja yang dapat mengganggu kesehatan pekerja sehingga menyebabkan kehilangan waktu kerja. Untuk itu bahaya kesehatan kerja ini harus dicegah dan itu merupakan tanggung jawab manajemen. Berbagai faktor lingkungan atau stress di tempat kerja dapat menyebabkan penyakit akibat kerja, gangguan terhadap kesehatan pekerja, atau ketidaknyamanan dalam pekerjaan. Faktor lingkungan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam jenis bahaya kimia, fisika, biologi, atau ergonomis. Pengklasifikasian jenis bahaya ini dapat dimasukkan dalam tahapan rekognisi.


Gambar 2. Tahapan Higiene Industri

Bahaya kimia. Bahaya ini muncul dari konsentrasi berlebih uap, gas, atau zat padat dalam bentuk debu atau uap di dalam udara. Selain bahaya inhalasi, beberapa bahan dapat menyebabkan bahaya iritasi kulit atau mungkin bersifat racun melalui absorbsi kulit.
Bahaya fisik. Yang termasuk jenis bahaya ini adalah radiasi pengion, radiasi non-pengion, kebisingan, getaran, tekanan dalam tingkat yang berlebihan, dan temperatur yang ekstrim.
Bahaya biologis. Yang termasuk bahaya ini adalah organisme hidup yang sifat-sifatnya dapat menyebabkan reaksi yang merugikan bagi manusia. Organisme ini dapat merupakan bagian dari lingkungan atau timbul karena suatu proses pekerjaan tertentu.
Bahaya ergonomis. Ini termasuk alat, pekerjaan, area kerja, atau prosedur kerja yang didisain dan disusun dengan tidak benar. Beberapa contoh bahaya ergonomis adalah cara mengangkat barang yang tidak benar, kondisi kurang pencahayaan, atau gerakan berulang dalam posisi canggung yang dapat menyebabkan penyakit atau kecelakaan di tempat kerja. Merancang alat dan pekerjaan agar sesuai pekerja adalah sangat penting. Teknik dan prinsip-prinsip biomekanik harus diterapkan untuk menghilangkan bahaya semacam ini.
Akibat dari bahaya-bahaya tersebut tergantung pada durasi dan keparahan dari paparan yang dinyatakan dalam dosis yang mengenai pekerja. untuk itu ditetapkan standar dan nilai ambang batas sebagai evaluasi terhadap tingkat bahaya yang ada. Hasil evaluasi ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam merancang usaha pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan dengan disain teknik, administratif, ataupun dengan alat pelindung diri.
Pengendalian dengan disain teknik dapat dilakukan dengan mengganti bahan berbahaya dengan yang tidak berbahaya. Jika bahan berbahaya tersebut tidak memungkinkan untuk digantikan, maka dilakukan pengendalian dengan mengisolasi bahaya tersebut. Misal, untuk mengatasi kebisingan dari suatu mesin maka dilakukan isolasi atau penambahan barrier untuk mengabsorbsi bising yang dihasilkan, dengan catatan pengendalian yang dilakukan tidak menganggu fungsi kerja mesin itu sendiri.
Pengendalian administratif dilakukan saat paparan tidak lagi bisa direduksi menggunakan disain teknik. Dalam contoh kasus kontaminasi udara atau kebisingan, dosis yang diterima pekerja dibatasi dengan menggunakan pengendalian administratif. Pengendalian administratif yang dapat dilakukan di antaranya dengan menyusun jadwal kerja yang mengatur durasi paparan sehingga meminimalkan bahaya terhadap kesehatan.

Higienis Industri
Higienis industri adalah ilmuwan, teknisi, dan profesional kesehatan masyarakat yang berkomitmen untuk melindungi kesehatan orang di tempat kerja. Higienis industri harus berkompeten dalam beberapa bidang ilmu, baik itu kimia, teknik, fisika, toksikologi, dan biologi, termasuk dasar kesehatan kerja. Seorang higienis industri tidak cukup dilatih dengan satu bidang ilmu, pengalaman dan studi pasca sarjana diperlukan dalam mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu.
Dalam organisasi industri tradisional, higienis industri termasuk ke dalam personil yang bekerja dalam bidang riset dan pengembangan, medis, manajemen, keselamatan, atau produksi. Meskipun memiliki lingkup kerja yang berdekatan, tetapi bidang-bidang tersebut tidak memiliki keahlian yang diperlukan dalam higiene industri. Pada era organisasi saat ini, higienis industri bertindak sebagai profesional keselamatan dan lingkungan. Untuk memudahkan pelaksanaan dalam organisasi, higienis industri diharapkan tidak hanya mengerti tentang masalah teknik dan sains, tetapi juga mengerti tentang manajemen. Higienis industri terlibat dalam pekerjaan antar bidang yang melibatkan keahlian seluruh personil untuk mewujudkan dan memelihara lingkungan kerja yang sehat. Higienis industri juga berkontribusi dalam pendidikan dan pelatihan pekerja, pertanggungjawaban hukum dan produk, pemasaran, pelabelan, dan informasi publik. Dalam prakteknya, higienis industri sering dikaitkan dengan profsi fisikawan, perawat, paramedis, dan petugas kedaruratan medis.
Higienis industri di tempat kerja memiliki tugas yang mirip dengan petugas keselamatan. Higienis industri mempelajari tentang insiden, menyiapkan rekomendasi dan laporan, mempelajari proses dan mesin baru, sudut pandang kesehatan atau keselamatan, melakukan promosi kesehatan kerja,  menyelenggarakan pendidikan tentang keselamatan, memberikan masukan kepada manajemen tentang bahaya kesehatan, melakukan higiene industri, menyusun prosedur dan perlengkapan yang diperlukan.

Kesimpulan
Higiene industri merupakan bagian dari keselamatan dan kesehatan kerja yang memiliki fungsi melakukan antisipasi, rekognisi, evaluasi, dan pengendalian terhadap bahaya kesehatan kerja/ faktor lingkungan kerja atau stress, yang timbul di atau dari tempat kerja, yang dapat menyebabkan sakit, gangguan kesehatan dan kehidupan, atau ketidaknyamanan yang berarti dan ketidakefisienan pada pekerja atau warga masyarakat.
Higienis industri adalah ilmuwan, teknisi, dan profesional kesehatan masyarakat yang berkomitmen untuk melindungi kesehatan orang di tempat kerja. Higienis industri tidak hanya melakukan pekerjaan higiene industri, tetapi juga berkontribusi dan terlibat dalam pekerjaan antar bidang misalnya pendidikan dan pelatihan pekerja, pertanggungjawaban hukum dan produk, pemasaran, pelabelan, dan informasi publik.

Daftar Pustaka
Plog, Barbara A., Fundamental of Industrial Hygiene 5th Edition., USA : National                             Safety Council. 2002.
Nasri, Sjahrul M., Presentasi “Industrial Hygiene Sesion 1”, 2014.
Hendra, Presentasi “Higiene Industri”, 2013.

Sabtu, 09 Agustus 2014

INDUSTRIAL TOXICOLOGY : DOSE – RESPONSE RELATIONSHIP

PENDAHULUAN
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bahan beracun dan berbahaya. Efek toksik adalah efek berbahaya bagi tubuh yang dapat dan yang tidak dapat dihindari akibat dari berinteraksi dengan bahan melalui jalur pernafasan, kulit, mata, mulut, atau jalur lain. Efek toksik merupakan gangguan terhadap fungsi fisiologis yang disebabkan pajanan berlebih bahan kimia atau fisik, bisa juga sebagai efek samping dari pengobatan dan vaksinasi. Toksikitas merupakan kemampuan bahan kimia untuk merusak atau melukai organisme hidup. Toksikitas tergantung pada kuantitas atau dosis; toksikitas bahan kimia tergantung pada besarnya pajanan dan absorbsi (penyerapan). Beberapa bahan kimia dalam kuantitas yang kecil bermanfaat bagi kesehatan, tetapi dalam kuantitas yang besar menjadi toksik yang tinggi.
Toksikitas dan bahaya memiliki perbedaan, toksikitas sebagai kemampuan dari substansi yang mengakibatkan efek yang tidak diinginkan akibat dari besarnya konsentrasi tertentu di dalam tubuh, sedangkan bahaya adalah suatu probabilitas dari konsentarasi yang mungkin terjadi pada suatu tapak. Banyak faktor kontribusi yang mempengaruhi tingkat bahaya seperti jalur masuk, kuantitas pajanan, status fisiologis, kondisi lingkungan, dan faktor-faktor lain. Toksikitas yang diakibatkan oleh bahan kimia dapat bersifat lokal maupun sistemik, bisa ringan maupun parah. Untuk efek yang akan terjadi, bahan beracun pada awalnya akan mengenai organ atau bagian tubuh yang akan mengalami kerusakan. Jalur yang pada umumnya terjadi bahan beracun tersebut mengenai organ atau bagian tubuh melalui inhalasi, absorbsi kulit, ingesi (jalur pencernaan), dan injeksi.


DOSE-RESPONSE RELATIONSHIP
Yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi adalah hubungan dosis dan respon. Dalam bidang penelitian hewan, dosis yang diberikan diatur untuk menguji respon hewan dengan menambah atau mengurangi kuantitas substansi hingga mendapatkan efek pada hewan yang diinginkan, misal : injuri atau bahkan kematian. Data yang didapatkan digunakan untuk membuat kurva dosis-respon yang terkait dengan efek yang ditimbulkan akibat dosis tertentu. Dosis yang diberikan merupakan kuantitas yang diatur per satuan berat badan, kuantitas per luas permukaan kulit, atau kuantias per satuan volume udara pernafasan. Selain itu durasi waktu selama dosis tersebut diberikan juga memiliki pengaruh terhadap efek yang terjadi.
Hubungan antara dosis-respon dapat dikatakan sebagai hasil kali antara konsentrasi (C) dengan durasi pajanan (T). Hasil ini kurang lebih sebanding dengan konstanta (K), dalam rumus matematika dapat ditulis C x T = K. Dosis dipengaruhi oleh 2 variabel, konsentrasi dan durasi dari pajanan. Untuk bahan kimia tertentu,  pajanan konsentrasi tinggi dengan durasi yang singkat mungkin akan sama efeknya dengan pajanan konsentrasi rendah dengan durasi yang lama. Peraturan tentang nilai batas pajanan diatur menurut besarnya konsentrasi dan durasi pajanan yang secara teori nilainya di bawah yang dapat menyebabkan injuri.

Konsep Nilai Batas
Pada kebanyakan bahan kimia terdapat konsep nilai batas berefek dan ambang batas tidak berefek. Kebanyakan bahan kimia beracun yang dikenal, jika digunakan dalam jumlah yang kecil akan menghasilkan efek yang tidak dapat diukur. Penggunaannya ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan satu sel atau beberapa sel, tetapi efeknya tidak dapat terukur langsung seperti kasus disfungsi ginjal. Jika dosis atau kuantitasnya ditambah, akan ada efek yang dapat diukur dimana terdapat kejadian dampak kesehatan pada populasi yang terpajan dibandingkan dengan populasi yang tidak terpajan. Potensi toksik pada bahan kimia didefinisikan sebagai hubungan antara besarnya dosis dari bahan kimia dan respon dari sistem biologis. Konsentrasi tinggi pada organ tertentu akan menyebabkan efek yang serius, sedangkan konsentrasi yang rendah mengakibatkan efek yang ringan. Toksik terkait dengan besarnya dosis atau banyaknya substansi yang dapat menyebabkan injuri, penyakit, atau efek kesehatan yang parah.
Meskipun banyak kejadian pajanan di industri melalui jalur pernafasan maupun absorbsi kulit, banyak data hubungan dosis-respon yang dipublikasikan merupakan hasil eksperimental menggunakan hewan. Pada eksperimen tersebut, substansi diuji melalui jalur pencernaan (dalam makanan, air minum, saluran darah, ataupun langsung ke dalam perut) atau jalur injeksi. Tingkat bahaya suatu bahan tergantung pada komposisi kimia, tipe dan tingkat pajanan, dan kandungan bahan dalam tubuh. Untuk beberapa bahan, dosis toksik tunggal dalam jumlah besar akan menyebabkan respon  yang besar pula dibanding dengan dosis toksik dalam jumlah yang kecil dengan durasi yang lama. Jumlah yang kecil dapat didetokfikasi dengan cepat, tetapi jumlah yang besar dapat menyebabkan gangguan sebelum dapat didetokfikasi.
Akumulasi substansi di dalam tubuh disebabkan proses penambahan substansi akibat durasi pajanan dan dapat terjadi akibat pajanan yang terus menerus dan berulang. Efek biologi akibat pajanan dapat dilihat dari urin, darah, atau udara yang keluar dari tubuh. Nilai batas pajanan paling mudah dilihat dari efek yang terjadi segera setelah terpajan. Efek lain seperti kerusakan lanjutan yang dihasilkan dan timbulnya kanker akan dapat dilihat beberapa bulan atau beberpa tahun setelah terpajan. Data terkait dosis dihasilkan oleh studi epidemiologi. Karena alasan ini dan alasan lain, nilai batas bahan karsinogenik (seperti asbestos) tidak ditetapkan dan dipertimbangkan untuk ke nilai nol.

Dosis Letal
Jika sejumlah hewan dipajani bahan toksik, ketika konsentrasi mencapai nilai tertentu, beberapa tetapi tidak semua hewan akan mati. Hasil dari eksperimen seperti ini digunakan untuk menentukan nilai dosis letal dari suatu bahan berbahaya dan beracun. Jika hanya variabel jumlah kematian yang digunakan, maka memungkinkan untuk menggunakan konsep dosis letal. Penunjukan keparahan yang biasa digunakan seperti LD50, LD0, dan LD100. LD50 adalah dosis yang dihitung dengan perkiraan akan mengakibatkan kematian 50 persen populasi hewan eksperimen, dan 50 persen lainnya tidak dapat diyakinkan dalam kondisi yang sehat. LD0 jarang digunakan, yaitu konsentrasi yang tidak mengakibatkan kematian dan merupakan konsentrasi tertinggi yang dapat ditoleransi oleh hewan. Sedangkan LD100 merupakan konsentrasi terendah yang yang membunuh 100 persen jumlah hewan eksperimental yang terpajan. Dosis letal ini pada umumnya merupakan berat substansi per kilogram berat tubuh hewan, biasanya miligram per kilogram.

Konsentrasi Letal
Sewaktu berbicara tentang pajanan melalui jalur inhalasi, maka dibutuhkan dosis terkait jalur inhalasi. Konsentrasi letal digunakan untuk material partikel udara. Konsentrasi partikel udara biasa dinyatakan dalam mg/m3 atau ppm (part per million). LC50  diartikan sewaktu populasi hewan eksperimen dipajani konsentrasi tertentu yang telah dihitung, akan menyebabkan 50 persen kematian dari populasi hewan tersebut pada durasi tertentu. Durasi pajanan sangat penting karena pajanan setengah jam mungkin akan mengakibatkan efek yang signifikan, berbeda dengan karakteristik pajanan 24 jam.
Dosis harus dilihat pada durasi waktu yang spesifik (seperti jam, hari, bulan, atau tahun) untuk menentukan jenis observasi yang dilakukan untuk mengetahui tingkat karsinogeik suatu bahan.

PENUTUP
Toksikitas digunakan untuk menunjukkan kemampuan substansi untuk memberikan efek terhadap kesehatan manusia. Efek yang terjadi tergantung jenis bahan kimia, besarnya dosis, jalur masuk bahan ke dalam tubuh, dan kondisitubuh yang terpajan. Ada 4 jalur toksik masuk ke dalam tubuh manusia, yaitu melalui inhalasi, absorbsi kulit, jalur pencernaan, dan injeksi. Dari keempatnya, inhalasi merupakan jalur terpenting dalam rute pajanan di tempat kerja.
Sewaktu bahan beracun dan berbahaya bereaksi dengan tubuh manusia, respon yang diberikan akan tergantung pada dosis yang diterima. Respon dapat mulai dari gejala ringan seperti batuk dan iritasi hingga efek yang parah seperti kanker dan kematian.

REFERENSI
A.Plog, Barbara. 2002. Fundamental of Industrial Hygiene. Quinlan : National Safety Council.