Kamis, 02 Oktober 2014

PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN


Pengamanan rokok adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan (PP Nomor 19 Tahun 2003).
Sebanyak 57 juta penduduk Indonesia merokok pada tahun 2004. Sebanyak 78 % perokok mulai merokok sebelum umur 19 tahun. Dan kenyataan buruknya, lebih dari 97 juta penduduk Indonesia dan 70 % anak-anak di bawah umur 15 tahun adalah perokok pasif yang terus menerus terpapar asap rokok. Dari statistik tersebut, setiap tahun 200.000 orang meninggal akibat merokok. Biaya kesehatan untuk mengobati penyakit yang terkait dengan merokok mencapai 2,9 hingga 11 triliun rupiah per tahun. Pada tahun 2005, rumah tangga dengan perokok menghabiskan 11,5 % pengeluaran rumah tangganya untuk konsumsi tembakau (Sarah Barber, 2005). Dalam data 2 tahun terakhir, jumlah perokok terus mengalami peningkatan. Tahun 2011 jumlah perokok di Indonesia sebayak 61,4 juta perokok, dan tahun 2012 meningkat menjadi 62,3 juta perokok (Apriliani Gita F., 2012).

Untuk meminimalisir bahaya rokok ini, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 81 tahun 1999 tentang penanggulangan Masalah Merokok bagi Kesehatan. Peraturan ini mengatur agar kandungan tar/ nikotin pada rokok dibatasi, maksimum 20 mg untuk tar dan 1,5 mg untuk nikotin. Selain itu, melarang total iklan rokok di media massa dan elektronik. Tetapi kemudian PP ini dimentahkan dengan PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang di dalamnya mengindikasikan pemerintah melemah dalam mengatasi masalah merokok. Masalah rokok menjadi dilema bagi pemerintah, di satu sisi hasil cukai rokok menghasilkan kontribusi yang besar bagi APBN, tapi di sisi lain penanggulangan kesehatan akibat merokok juga membutuhkan dana dan usaha yang besar.  Selain peraturan tersebut, Pemda DKI Jakarta memberikan terobosan dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur (PerGub) Nomor 75 tahun 2005 yang diubah dengan PerGub Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Tetapi pengawasan terhadap implementasi peraturan ini hanya terdengar gaungnya di awal penerapan, setelah itu tidak ada konsistensi terhadap pengawasannya.


Dilihat dari data perokok yang terus bertambah setiap tahunnya, dan dampak luas yang diakibatkan oleh merokok, perlu untuk mendesak pemerintah memberikan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada aspek dampak (khususnya kesehatan) dibandingkan dari sisi pendapatan negara. Rekomendasinya adalah dengan meningkatkan cukai rokok dan menerapkannya secara seragam (tidak ada penjenjangan). Diharapkan dengan peningkatan cukai rokok, daya beli masyarakat (khususnya anak/remaja dan golongan kurang mampu) terhadap rokok menurun dan peningkatan pendapatan negara dari cukai tersebut digunakan untuk membangun daerah yang terkena imbas penurunan konsumsi rokok/tembakau. Rekomendasi lain, jika dikaitkan dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),  iuran yang dibayarkan oleh perokok 20% lebih besar dibandingkan non-perokok, hal ini untuk menyadarkan perokok bahwa mereka memiliki risiko sakit yang lebih besar. Kemudian terkait dengan kawasan dilarang merokok, pengelola gedung tidak hanya menyediakan ruangan untuk merokok, tetapi juga mengatur sistem tata udara gedung agar asap rokok dari ruangan tersebut tidak menyebar ke ruangan lain. Lebih baik lagi jika ruang merokok dibuat terpisah dari gedung utama, selain tidak mencemari tata udara gedung, juga memberikan efek “malas” untuk merokok karena harus berjalan cukup jauh menuju ruangan tersebut. 

Disusun dari berbagai sumber.