Jumat, 18 Juli 2014

MANAJEMEN KESELAMATAN PROSES : Dasar Teori

Manajemen keselamatan proses merupakan upaya proaktif untuk mengidentifikasi, evaluasi, dan mitigasi atau preventif lepasan dari proses yang terjadi akibat kegagalan proses, prosedur, atau peralatan.
Menurut Occupational Safety and Health Administration dalam OSHA 3132 (2000), ada 11 (sebelas) elemen dalam Manajemen Keselamatan Proses :
  1. Informasi keselamatan proses;
  2. Analisis bahaya proses;
  3. Prosedur operasi;
  4. Partisipasi pekerja;
  5. Pelatihan;
  6. Kontraktor;
  7. Pre-startup safety review;
  8. Integritas mekanik;
  9. Izin kerja;
  10. Manajemen perubahan;
  11. Investigasi kecelakaan;
  12. Kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan;
  13. Audit keselamatan.
1. Informasi Keselamatan Proses
Elemen ini merupakan tahapan membuat dan memelihara informasi keselamatan yang terkait dengan spesifikasi tempat kerja, bahaya, peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam proses. Tahapan ini adalah pengenalan terhadap tempat kerja dan proses yang akan dilakukan sebelum melakukan analisis terhadap bahaya proses. Hasil dari tahpan ini merupakan dasar untuk melakukan analisis terhadap bahaya yang ada pada proses. Informasi keselamatan ini mencakup bahan/ material berbahaya, teknologi, dan perlatan yang digunakan dalam proses.
Informasi tentang bahan/ material yang digunakan dalam proses berisi tentang spesifikasi dan ciri khas dari material tersebut seperti yang tercantum dalam Material Safety Data Sheet (MSDS) yang diantaranya memuat toksikitas, nilai batas pajanan yang diperbolehkan, data fisik, data reaktivitas, data korosivitas, data kestabilan temperatur dan bentuk kimia, dan efek berbahaya jika dicampur dengan bahan/ material lain.
Informasi tentang teknologi yang digunakan paling tidak harus memuat diagram alir dari proses kerja, kimia proses (jika ada), pengawasan terhadap inventori, nilai batas aman atas dan batas aman bawah (contoh : temperatur, tekanan, debit, komposisi), dan evaluasi terhadap akibat jika terjadi deviasi, termasuk efeknya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Jika informasi ini belum tersedia di petunjuk manual atau informasi teknis, maka informasi ini dapat didapatkan dengan proses analisis bahaya.
Informasi tentang peralatan yang digunakan dalam proses minimal memuat informasi tentang materi penyusun, diagram pemipaan dan instrumentasi, kelistrikan, disain dasar dan disain sistem, disain sistem ventilasi, standar disain, keseimbangan material dan energi yang digunakan dalam proses, dan sistem keselamatan.
Kompilasi dari informasi-informasi di atas merupakan dasar untuk identifikasi dan mengerti tentang bahaya yang ada dalam proses,serta sangat membantu dalam tahapan analisis bahaya. Di samping itu informasi-informasi itu sangat berguna dalam dokumentasi manajemen keselamatan proses, seperti kaitannya dengan manajemen perubahan dan investigasi kecelakaan.
2. Analisis Bahaya Proses
Pada tahapan ini dilakukan penilaian terhadap bahaya di tempat kerja, termasuk perkiraan dan identifikasi sumber bahaya potensial, identifikasi kejadian terdahulu yang mempunyai konsekuensi katastropik, perkiraan dampak bagi tempat kerja, dan efeknya bagi kesehatan dan keselamatan kerja. Analisis bahaya proses dilakukan berdasarkan prioritas proses yang dilakukan yang didalamnya terdapat bahaya proses itu sendiri, banyaknya pekerja yang memiliki potensi terpajan, lamanya proses, dan sejarah pengoperasiannya. Dan untuk tahapan ini perlu dilakukan pemutakhiran dan validasi ulang terhadap hasil analisis secara periodik.
Banyak metode yang bisa digunakan untuk melakukan analisis bahaya proses, dan pemilihan metode ini didasarkan pada kesesuaian dan kompleksitas dari proses yang dianalisis. Beberapa metode yang dapat digunakan di antaranya :
  • What-if;
  • Checklist;
  • Kombinasi what-if/checklist;
  • Hazard and operability study (HAZOP);
  • Failure mode and effects analysis (FMEA);
  • Fault tree analysis (FTA);
Apapun metode yang digunakan, proses analisis bahaya harus memuat :
Ø  Informasi bahaya dalam proses;
Ø  Identifikasi terhadap kejadian terdahulu yang memiliki konsekuensi katastropik;
Ø  Pengendalian teknis dan administratif yang dapat dilakukan, termasuk peringatan dini jika terjadi deviasi/ lepasan dan instrumentasi pemantauan dan pengendalian;
Ø  Konsekuensi yang terjadi bila terjadi kegagalan pengendalian teknis dan administratif;
Ø  Tapak fasilitas;
Ø  Faktor manusia yang berkontribusi;
Ø  Efek keselamatan dan kesehatan bagi pekerja jika terjadi kegagalan.
Pelaksanaan terbaik dari tahapan ini sebaiknya dilakukan oleh tim yang terdiri dari orang yang ahli dalam bidang teknis, operasi proses, mempunyai pengalaman dalam proses, dan juga yang memiliki pengetahuan dengan metode analisis yang digunakan.
3. Prosedur Operasi
Dalam tahapan ini dilakukan penyusunan dan penerapan prosedur operasi tertulis, termasuk prosedur untuk masing-masing fase operasi batasan operasi, dan pertimbangan keselamatan dan kesehatan. Prosedur tertulis yang disusun membantu proses berjalan dengan benar, konsisten, dan dapat dengan mudah dikomunikasikan dengan operator/ pekerja. Prosedur yang baik memuat langkah-langkah berikut :
  • Initial starup;
  • Pengoperasian normal;
  • Emergency shutdown, termasuk siapa yang bertanggungjawab dalam memutuskan dan melakukannya agar emergency shutdown dilakukan dengan aman dan tepat;
  • Pengopersian saat darurat;
  • Normal shutdown;
  • Startup setelah penggantian, atau setelah emergency shutdown.
  • Batasan operasi, seperti : konsekuensi jika terjadi deviasi, langkah-langkah untuk mengkoreksi deviasi;
  • Pertimbangan keselamatan dan kesehatan kerja, di antaranya : bahan/material yang digunakan, upaya pencegahan pajanan (teknis, administratif, APD), pengendalian kualitas terhadap material dan inventori kimia; bahaya spesifik; dan sistem keselamatan (interlock, dll)
Prosedur operasi sangat bermanfaat dalam pelatihan pekerja baru. Oleh karena itu, harus dilakukan evaluasi secara periodik terhadap prosedur operasi untuk meyakinkan kekinian dan kesesuaian prosedur tersebut dengan proses yang dilakukan di tempat kerja.
4. Partisipasi Pekerja
Dalam Manajemen Keselmatan Proses, pekerja dituntut berperan aktif baik dalam berkonsultasi dengan supervisornya mengenai pekerjaannya, ikut serta dalam analisis bahaya proses, serta turut andil melaksanakan elemen-elemen manajemen proses.
5. Pelatihan
Yang terkait dengan pelatihan yang dimaksud dalam Manajemen Keselamatan Proses adalah pelaksanaan pelatihan awal, pelatihan penyegaran, dan melakukan dokumentasi pelatihan.
Ø  Pelatihan awal
Implementasi dari pelatihan yang efektif merupakan langkah penting bagi seorang pekerja untuk meningktkan keselamatan kerja. Oleh karena itu, manajemen keselamatan proses mensyaratkan pekerja baru atau pekerja lama dengan pekerjaan yang baru harus dilatih dengan proses tersebut, termasuk prosedur pekerjaan yang benar. Materi pelatihan yang dilakukan harus memuat informasi bahaya keselamatan dan kesehatan yang diakibatkan dari proses, operasi dalam keadaan darurat termasuk emergency shutdown, dan praktik kerja selamat yang harus diterapkan dalam setiap pekerjaan yang akan dilakukan. Sangat dianjurkan memberikan sertifikat tertulis kepada pekerja setelah mengikuti pelatihan sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pekerjaan yang spesifik.
Ø  Pelatihan penyegaran
Pelatihan penyegaran harus dilakukan secara periodik, paling lama 5 tahun sekali, untuk masing-masing jenis pekerjaan atau kompetensi dengan tujuan menjamin pekerja mengerti dengan pasti tentang prosedur proses.
Ø  Dokumentasi pelatihan
Rekaman harus dipelihara, di mana rekaman tersebut terdiri dari identifikasi dari pekerjaan, tanggal pelaksanaan pelatihan, dan hasil evaluasi apakah pekerja berhasil dalam pelatihan tersebut.
6. Kontraktor
Dalam tahapan ini dipastikan kontraktor dan pegawai kontrak mengetahui dan mematuhi informasi dan prosedur keselamatan yang ada. Hal ini berlaku baik untuk pegawai kontrak yang bekerja dalam waktu yang lama dan juga yang bekerja dalam waktu yang singkat. Manajemen keselamatan proses memberikan persyaratan khusus kepada kontraktor dan pegawainya dengan menekankan pentingnya setiap orang peduli untuk tidak melakukan sesuatu yang berbahaya untuk pekerja lainnya.
Sewaktu pemilihan kontraktor, evaluasi terhadap informasi tentang kontraktor dan pegawainya mengenai program dan praktik keselamatan harus dilakukan. Sebelum kontraktor melakukan pekerjaannya, pihak perusahaan harus menginformasikan tentang potensi kebakaran, ledakan, atau lepasan bahan berbahaya yang terkait dengan pekerjaan kontraktor. Di samping itu juga menjelaskan tentang program penanggulangan kedaruratan, implementasi praktik kerja selamat, kendali akses, evaluasi secara periodik terhadap kontraktor dalam pemenuhan kontrak, dan pelayanan yang dilakukan jika pegawai kontrak mengalami cidera atau sakit dalam area proses.
Selain kewajiban perusahaan di atas, kontraktor dan pegawai kontrak memiliki kewajiban : menjamin bahwa pegawai kontrak telah terlatih, mengetahui potensi bahaya yang ada, mengerti tentang prosedur penanggulangan kedaruratan, dan menjamin pegawai kontrak mengikuti aturan keselamatan yang ada di fasilitas termasuk kepatuhan terhadap prosedur kerja yang ada.
7. Pre-Startup Safety Review
Pre-startup safety review merupakan tahapan penting dalam review keselamatan sebelum memasuki daerah kerja atau memulai pekerjaan. Tahapan ini berlaku untuk fasilitas/ proses baru dan modifikasi fasilitas/ proses yang menyebabkan perubahan informasi keselamatan secara signifikan. Pre-startup safety review berisi tentang :
  • Konstruksi dan peralatan sesuai dengan spesifikasi disain;
  • Keselamatan, pengoperasian, pemeliharaan, dan prosedur kedaruratan;
  • Analisis bahaya proses untuk fasilitas baru atau fasilitas yang dimodifikasi;
  • Pelatihan yang harus dilakukan atau dipenuhi.
8. Integritas Mekanik
Sangatlah penting untuk melakukan pemeliharaan terhadap integritas mekanik dari peralatan kritis yang digunakan dalam proses untuk menjamin proses dapat berjalan dengan baik. Beberapa peralatan yang menjadi perhatian dalam manajemen keselamtan proses di antaranya : bejana tekan, tangki penyimpanan, sistem dan komponen pemipaan (termasuk valve), sistem dan perlengkapan ventilasi, sistem emergency shutdown, kontrol (peralatan monitoring, sensor, alarm, interlok), dan pompa.
Inspeksi dan pengujian terhadap perlengkapan proses dilakukan berdasarkan prosedur yang menerapkan pelaksanaan teknik yang baik. Frekuensi pelaksanaan inspeksi dan pengujian berdasarkan rekomendasi dari manufaktur peralatan itu sendiri, lebih sering dilakukan itu lebih baik. Setiap data dari kegiatan inspeksi dan pengujian harus terdokumentasi, termasuk identifikasi tanggal pelaksanaan, personil yang melakukannya, identifikasi peralatan yang diinspeksi atau diuji, inspeksi atau pengujian yang dilakukan, dan hasil dari inspeksi atau pengujian.
Defisiensi peralatan di luar nilai yang diperbolehkan harus diperbaiki sebelum digunakan. Dalam beberapa kasus, terkadang defisiensi tidak segera diperbaiki karena masih dalam batas selamat. Sebelum menggunakan fasilitas/ peralatan baru, harus diyakinkan bahwa peralatan itu sudah diproduksi sesuai dengan kegunaannya dalam kegiatan proses.
9. Izin Kerja
Izin kerja merupakan pengendalian administratif yang diberikan saat pekerja akan melakukan pekerjaan yang memiliki risiko atau bekerja di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya. Tidak hanya terkait dengan pekerjaan itu sendiri, tetapi juga keterkaitan dengan pekerjaan lain di dekat atau yang terhubung dengan pekerjaan tersebut. Sebelum izin kerja dikeluarkan, harus dilakukan evaluasi terhadap pekerjaan yang akan dilakukan. Setelah izin kerja dikeluarkan, sebelum melakukan pekerjaan, izin kerja harus dikomunikasikan ke bagian atau divisi terkait. Kemudian izin kerja ini harus didokumentasikan, selain sebagai bukti pelaksanaan pekerjaan, terkadang izin kerja bermanfaat dalam melakukan analisis masalah atau investigasi insiden.
10. Manajemen Perubahan
Pada tahapan manajemen perubahan, dilakukan dengan menyusun dan menerapkan prosedur untuk mengelola perubahan yang dilakukan (kecuali untuk perubahan dengan spesifikasi yang sama) untuk proses, teknologi, peralatan, prosedur, fasilitas, dan atau tempat kerja. Beberapa hal yang harus dimuat dalam manajemen perubahan adalah :
-       Pertimbangan teknis yang mendasari perubahan
-       Dampak perubahan bagi keselamatan dan kesehatan kerja
-       Modifikasi untuk prosedur operasi
-       Waktu yang dibutuhkan untuk penyesuaian setelah perubahan
-       Kewenangan yang memutuskan perubahan
Sebelum dan sesudah melakukan perubahan, banyak hal yang harus dilakukan oleh manajemen. Selain menginformasikan perubahan itu sendiri, pengkajian sebelum perubahan dilakukan dan pelatihan yang diperlukan jika melakukan perubahan terhadap proses atau peralatan proses. Begitu juga dengan informasi keselamatan proses butuh penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan.
11. Investigasi Kecelakaan
Manajemen keselamatan proses mensyaratkan pelaksanaan investigasi untuk setiap insiden yang dapat menyebabkan kecelakaan berdampak di tempat kerja dan dengan temuan yang ada dapat melakukan koreksi. Investigasi insiden merupakan bagian penting dari manajemen keselamatan proses, di mana melalui investigasi insiden dapat diketahui rangkaian kejadian dan penyebab sehingga kita dapat melakukan koreksi untuk ke depannya dapat berjalan lebih baik dan juga dapat diimplementasikan.
Investigasi insiden harus dilakukan segera, paling lambat 48 jam setelah kejadian. Investigasi dilakukan oleh tim yang terdiri dari personil yang meiliki pengetahuan tentang proses yang dilaksanakan, termasuk melibatkan pegawai kontrak jika proses itu dilakukan oleh kontraktor, dan personil lain yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam investigasi dan analisis insiden. Laporan dari investigasi insiden paling tidak memuat :
  • Tanggal kejadian;
  • Tanggal investigasi dimulai;
  • Deskripsi insiden;
  • Faktor-faktor yang berkontribusi dalam insiden;
  • Rekomendasi hasil dari investigasi.

12. Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Kedaruratan
Walaupun dengan perencanaan sebaik apapun, insiden dapat terjadi, oleh karena itu penting untuk menyusun rencana kedaruratan dan melatih pekerja serta kontraktor peduli tentang masalah ini. Dalam prosedur penanggulangan kedaruratan juga harus disertakan bagaimana penanganan terhadap lepasan yang terjadi. Sedangkan mengenai pelatihan penanggulangan kedaruratan harus dilakukan secara periodik sesuai skala dan spesifikasi potensi bahaya yang dapat terjadi, seperti untuk instalasi nuklir diwajibkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir untuk melaksanakan latihan kedaruratan minimal 1 kali dalam setahun untuk 1 instalasi nuklir atau fasilitas radiasi & zat radioaktif.
13. Audit Keselamatan
Untuk meyakinkan bahwa manajemen keselamatan proses berjalan efektif, harus dilakukan audit secara periodik untuk mengevaluasi pemenuhan terhadap persyaratan yang ditentukan, meliputi prosedur dan praktik yang dilakukan sesuai standar/ ketentuan atau tidak. Audit ini dapat dilakukan oleh tim atau seseorang yang memiliki pengetahuan dalam proses dan pelaporan temuan hasil audit tersebut harus bisa menjadi koreksi dan terdokumentasi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

--. Process Safety Management. US Department of Labor : Occupational Safety and Health Administration. 2000.
Marshall, Vic. Terjemahan : Dasar-dasar Keselamatan Proses. Bandung : Indonesia Institute For Process and Safety (IIPS). 2007.
Mukharror, Darmawan A., Presentasi  Process Safety : Implementation and Challenges. Universitas Indonesia. 2013.

Minggu, 06 Juli 2014

KERAGAMAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Pengenalan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Dalam suatu perusahaan, diperlukan sebuah sistem manajemen yang mengatur tata kelola seluruh kegiatan yang ada dalam perusahaan tersebut. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga dokumentasi. Begitupun untuk masalah keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan sistem manajemen untuk membagi tanggung jawab terhadap tindakan yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja, menetapkan standar kerja dan kerangka kerja, dan memfasilitasi penegakan aturan terkait keselamatan dan kesehatan kerja.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan sebuah sistem yang menghubungkan dan menyusun urutan proses guna mencapai tujuan tertentu, serta menciptakan suatu cara pengelolaan keselamatan dan kesehaan kerja yang teridentifikasi dan dapat dilakukan terus menerus. Dalam penerapannya, terdapat kerancuan pengertian SMK3 dan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Manajemen K3 merupakan bagian dari SMK3 yang terdiri dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan sumber daya dan lain sebagainya untuk mencapai keselamatan dan kesehatan untuk pekerja. Sedangkan SMK3 merupakan bagian yang lebih luas yang menjadi bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan K3 dalam pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif



Keragaman Penerapan SMK3
Alasan mendasar untuk implementasi SMK3 dibagi menjadi 3 (tiga) menurut Frick dan Wren (2000 : 38), yaitu metode voluntary, mandatory, dan hibrid. Metode voluntary merupakan SMK3 yang diterapkan perusahaan atas kemauannya sendiri dengan tujuan yang berhubungan dengan kesejahteraan karyawan atau aktualisasi sebagai bagian dari warga negara yang baik, meskipun ada alasan lain untuk mengurangi biaya asuransi. Sedangkan untuk metode mandatory merupakan SMK3 yang dibangun perusahaan karena memang diharuskan oleh legislasi/ peraturan di negara atau daerah tersebut. Di samping itu dikenal ada metode semi-mandatory, SMK3 dibangun atas permintaan pasar yang mengharuskan pemenuhan terhadap legislasi/ peraturan. Untuk metode hibrid merupakan kombinasi dari metode voluntary dan mandatory, sebagian SMK3 dibangun atas dasar kesadaran dan kerelaan perusahaan dan sebagian lain dibangun karena untuk pemenuhan terhadap legislasi/ peraturan.
Jika dilihat dari cara penerapannya, SMK3 memiliki banyak ragam, hal ini terkait dengan perusahaan dan/ atau bidang industri di mana SMK3 itu dibangun. Hal ini erat hubungannya dengan jenis bahaya yang dihadapi, besar kecilnya area kerja, statistik kejadian dan cedera yang pernah terjadi, struktur organisasi perusahaan/ korporasi, dan keanggotaan perusahaan dalam suatu persatuan/ asosiasi. Hal-hal tersebutlah yang menentukan kompleksitas dari Sistem Manajamen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dibangun. Tetapi pada dasarnya, keragaman SMK3 yang dibangun tetap menggunakan 2 (dua) strategi utama, yaitu strategi pengendalian bahaya (yang dikenal dengan safe place control strategy) dan strategi pengendalian peilaku (yang dikenal dengan safe person control strategy). Keduanya dilakukan dengan pelaksanaan manajemen baik dengan pendekatan tradisional ataupun pendekatan yang inovatif. Pendekatan tradisional sangat tergantung pada aturan keselamatan yang diterapkan oleh supervisor, dan tidak menganggap penting keterlibatan karyawan secara langsung dalam pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sedangkan dalam pendekatan inovatif, manajemen memiliki peranan penting untuk mengintegrasikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada sistem manajemen yang lebih luas dan melibatkan karyawan secara aktif dalam pelaksanaannya.

Membangun SMK3 yang Efektif
Terdapat 3 (tiga) hal yang menyebabkan kegagalan dalam penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yaitu kegagalan perancangan sistem (system design faults), kegagalan fasiltas audit mendeteksi kegagalan sistem, dan keterbatasan dalam penerapan SMK3.  Pertama, kegagalan perancangan sistem yang digunakan diakibatkan oleh kesalahan dalam mengartikan sistem yang dibutuhkan oleh organisasi, tidak adanya keterlibatan karyawan dalam merancang sistem yang dibangun, komitmen manajemen dan organisasi yang lemah, kegagalan integrasi SMK3 dengan fungsi sistem manajemen yang lebih luas, dan penolakan karyawan terhadap ahli K3 serta kegagalan dalam memberi pengetahuan tentang K3 kepada karyawan. Kedua, kegagalan fasilitas audit dalam mendeteksi kegagalan sistem dikarenakan audit menjadi kontra-produktif terhadap tujuan pelaksanaannya. Hal ini disebabkan keterbasan kemampuan auditor, standar, dan prosedur, kegagalan penerapan kriteria audit sesuai dengan tujuan dan kebutuhan organisasi, audit hanya berfokus pada bahaya yang nyata dan mengenyampingkan bahaya laten dan bahaya jangka panjang terhadap kesehatan, serta audit gagal dalam menggambarkan kondisi penerapan SMK3 yang telah dicapai seperti komitmen manajemen, perecanaan, implementasi, dan evaluasi. Ketiga, keterbatasan dalam penerapan SMK3 yang disebabkan karena terkadang perusahaan yang kecil menerapkan SMK3 yang kompleks, kesulitan dalam penerapan pada perusahaan dengan pekerja paruh waktu atau kontrak, dan kontribusi masalah terkait K3 yang banyak disebabkan oleh kontraktor tidak diatur dalam sistem.
Dari uraian ketiga penyebab kegagalan di atas, keefektifan dan kesuksesan penerapan SMK3 ditentukan oleh 3 faktor besar, yaitu komitmen manajemen puncak, integrasi SMK3 dengan sistem manajemen yang lebih luas, dan keterlibatan karyawan secara aktif dalam pelaksanaan SMK3.
a.       Komitmen manajemen puncak menjadi pendukung utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi SMK3. Manajemen menampilkan kepemimpinan yang dapat menjadi contoh langsung dalam penerapan K3. Terkadang komitmen manajemen ini bisa dilihat dari seberapa besar anggaran yang disiapkan untuk membangun dan mengelola SMK3. Di samping itu manajemen menyediakan sarana komunikasi dan konsultasi antara karyawan dan manajemen, khusunya terkait masalah K3.
b.      Integrasi SMK3 dengan sistem manajemen yang lebih luas dalam suatu organisasi/ perusahaan sangat bermanfaat untuk mengendalikan dan mengurangi kegagalan nyata dan tersembunyi (obvious and latent failure), khususnya yang terkait masalah kualitas yang disebabkan oleh sistem. Dengan integrasi ini diharapkan manajemen menjadi aktor utama dalam pelaksanaan SMK3 diantaranya dengan pertimbangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam setiap keputusan yang akan diambil.
c.       Keterlibatan karyawan secara aktif dalam pelaksanaan SMK3 dibutuhkan karena salah satu ciri berjalannya SMK3 adalah adanya konsultasi karyawan dan manajemen dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi dalam semua kegiatan. Tanpa adanya konsultasi, sistem tidak akan bekerja, karena sistem hanya dianggap sebagai peraturan yang memberatkan dan bukan sesuatu yang dibangun bersama untuk tujuan bersama. Dukungan karyawan dalam pelaksanaan SMK3 sangat penting, salah satu alasannya adalah karyawan lah yang mengetahui betul jenis bahaya yang ada dalam proses kerja mereka. Dan media komunikasi akan memfasilitasi karyawan untuk memberikan informasi kepada manajemen dan kemudian manajemen menetukan tindakan pengendalian yang akan dilakukan.

Kesimpulan
1.    Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan sebuah sistem yang menghubungkan dan menyusun urutan proses guna mencapai tujuan tertentu, serta menciptakan suatu cara pengelolaan keselamatan dan kesehaan kerja yang teridentifikasi dan dapat dilakukan terus menerus.
2.    Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) memiliki banyak ragam sesuai perusahaan/ bidang industri di mana SMK3 itu dibangun. Hal ini erat hubungannya dengan jenis bahaya yang dihadapi, besar kecilnya area kerja, statistik kejadian dan cedera yang pernah terjadi, struktur organisasi perusahaan/ korporasi, dan keanggotaan perusahaan dalam suatu persatuan/ asosiasi. Meskipun begitu, strategi yang digunakan secara umum dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu safe place control strategy dan safe person control strategy.
3.    Keefektifan dan kesuksesan penerapan SMK3 ditentukan oleh 3 faktor besar, yaitu komitmen manajemen puncak, integrasi SMK3 dengan sistem manajemen yang lebih luas, dan keterlibatan karyawan secara aktif dalam pelaksanaan SMK3.

Referensi
Gallagher, Clare. (1997) Health & Safety Management Systems : An Analysis of System Types and Effectiveness. National Key Centre in Industrial Relations. Sidney.
Gallagher, C., Underhill, E., Rimmer, M. (2001) Occupational Health and Safety Management System “ A Review of Their Effectiveness in Securing Healthy and Safe Workplaces”. National Occupational Health and Safety Commission. Sydney.
Makin, A.M., Winder, C., (2008) A New Conceptual Framework to Improve the Application of Occupational Health and Safet management Systems. Safety Science 46 (2008) 935-948. Australia.