Selasa, 06 Januari 2015

BELAJAR DARI KECELAKAAN FUKUSHIMA

oleh Moch Romli


KRONOLOGIS KEJADIAN 

Pendahuluan

Pertama kalinya dalam sejarah, bencana alam mengakibatkan kegagalan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Itulah yang terjadi pada kompleks PLTN di kota Okuma yang terletak di distrik Futaba, prefektur Fukushima (260 km sebelah utara Tokyo) pada 11 Maret 2011 silam. Kompleks ini merupakan salah satu PLTN tertua dan sekaligus terbesar di dunia, yang dibangun sejak dekade 1960-an dan selesai pada 1970-an untuk selanjutnya dioperasikan oleh TEPCO (Tokyo Electric Power Company) kemudian mulai menyuplai listrik sejak 26 Maret 1971. Di dalam kompleks ini terdapat 6 (enam) buah reaktor nuklir generasi pertama : unit 1,2, dan 6 diproduksi oleh General Electric, unit 3 dan 5 diproduksi oleh Toshiba serta unit 4 diproduksi oleh Hitachi. Reaktor tertua (yakni reaktor unit 1) memiliki daya 460 MWe, sementara reaktor unit 2 hingga 5 memiliki daya 784 MWe dan reaktor unit 6 memiliki daya terbesar, yakni 1.100 MWe. Total daya yang dihasilkan dari komplek PLTN Fukushima adalah 4.696 MWe.

Gambar 1. Kompleks PLTN Fukushima dalam Citra Satelit sebelum Gempa 11 Maret 2011 (DigitalGlobe, 2011)
Semua reaktor di kompleks ini bertipe reaktor air mendidih (Boiling Water Reactor/ BWR) yang dikenal sederhana karena hanya terdiri dari satu jalur pendingin. Jadi air pendingin disirkulasikan ke dalam reaktor (dengan menggunakan pompa) untuk kemudian mendidih dan memproduksi uap yang lantas disalurkan keluar reaktor guna memutar turbo generator (gabungan turbin uap dan generator listrik). Uap bekas yang telah memutar turbogenerator selanjutnya masuk ke kondenser untuk diubah menjadi air dan diinjeksikan kembali ke dalam reaktor dengan menggunakan pompa.
Gambar 2. Skema Reaktor Nuklir Tipe Boiling Water Reactor (BWR)
Reaktor-reaktor ini menggunakan bahan bakar Uranium Oksida berbentuk pellet yang disusun dalam batang bahan bakar (terbuat dari paduan logam Zirkonium-Alumunium) sejumlah 340 buah (unit 1), 575 (unit 2 hingga 5), dan 810 (unit 6) dalam pola rotasi 5 tahunan dan dikonfigurasikan tegak pada sebuah kolam yang digenangi air. Air berfungsi sebagai pendingin sekaligus moderator (bahan pelambat neutron). Di antara batang-batang bahan bakar ini terdapat batang kendali (control rod) untuk mengatur fluks neutron (yakni jumlah neutron per cm2 per detik) dalam reaktor. Dengan batang kendali ini, maka daya reaktor bisa dinaikkan hingga ke tingkat operasional, ataupun diturunkan sesuai kebutuhan, ataupun dimatikan secara langsung (lewat sistem Safety Control Rod Axe Man/ SCRAM).

Kronologis Kejadian

Gempa mengguncang Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 pukul 2:46 p.m. dengan kekuatan 9 skala richter. Tiga puluh menit kemudian tsunami menghantam sepanjang pantai bagian timur laut Jepang. Pada saat itu hanya reaktor unit 1,2, dan 3 yang beroperasi, sementara reaktor unit 4, 5, dan 6 sedang dalam perawatan sesuai jadwal. Episentrum gempa berada sejauh 179 km dari kompleks PLTN Fukushima, namun patahan sumber gempanya tepat berhadapan dengan kompleks ini. Model getaran Gutenberg-Richter memperlihatkan getaran yang dirasakan kompleks PLTN Fukushima mencapai skala 8 MMI dengan percepatan tanag 0,5 g. Percepatan ini hampir 3 kali lipat percepatan maksimum desain reaktor PLTN Fukushima (yakni 0,18 g) namun sejauh itu tidak ditemukan kerusakan. Meski demikian getaran sangat keras ini merubuhkan menara jaringan tegangan ekstra tinggi sehingga jaringan listrik setempat padam. (Sudibyo, 2011)
Dinding laut (sea wall) setinggi 4 meter yang melindungi kompleks Fukushima yang menghadap ke laut, tidak mampu membendung terjangan tsunami yang diperkirakan mencapai 8,5 meter. Akibatnya kompleks PLTN Fukushima terendam. Pada saat terjadi gempa, sistem kendali reaktor secara otomatis mematikan semua reaktor dengan sistem SCRAM. Padamnya aliran listrik mengakibatkan katup-katup aliran pendingin digerakkan oleh diesel cadangan, namun ini pun hanya bertahan sekitar 1 jam karena diesel kemudian mati terendam air tsunami. Aliran listrik kemudian diambil alih oleh accumulator selama 8 jam. Bantuan mobile diesel dan mobile accumulator cadangan segera didatangkan dari PLTN terdekat yang tidakmengalami gangguan, namun butuh waktu 13 jam pasca gempa untuk mencapai Fukushima. Bantuan itu pun tuidak langsung tersambung dengan Fukushima, karena konektornya berada di ruang basement yang terendam air. Akibatnya reaktor unit 1 hanya mendapatkan pendinginan 9 jam pasca gempa dan setelah itu pendinginan berhenti. Sistem pendingan darurat ECCS (Emergency Core Cooling System) pun tak bisa diaktifkan akibat listrik padam. Konsekuensinya panas peluruhan tidak bisa dialirkan keluar dan berpotensi mengakibatkan kegagalan yang dikenal dengan Loss of Heat Sink Accident (LOHSA) atau Loss of Flow Accident (LOFA).
Akibat LOHSA, air pendingin reaktor tidak bisa mengalir sehingga terus terdidihkan hingga menguap oleh panas peluruhan. Penguapan intensif membuat tinggi permukaan air reaktor terus menyusut dan suatu saat sampai ke titik di mana bahan bakar mulai tidak terendam air pendingin. Pada saat itu suhu reaktor sudah mencapai 800 oC. Tidak terendamnya batang bahan bakar berimplikasi serius, sebab suhu reaktor melonjak naik hingga mencapai 1000 oC. Pada titik ini, panas telah mampu melelahkan batang bahan bakar dan isinya, kondisi yang secara teknis disebut Loss of Coolant Accident (LOCA). Dalam fisika reaktor nuklir, LOCA menduduki hirarki tertinggi sebagai kecelakaan terparah yang membuat sebuah reaktor bisa mati untuk selamanya. Zirkonium yang meleleh lantas bereaksi secara kimiawi dengan uap air panas menghasilkan zirkonium oksida dan gas hidrogen, di mana dalam tiap kg zirkonium yang bereaksi diproduksi 500 liter gas hidrogen. Terbentuknya gas hidrogen membuat tekanan di dalam reaktor meningkat hingga mencapai 2 kali lipat di atas normal.
Pada titik tertentu, campuran air,, udara, dan gas hidrogen cukup berbahaya karena sanggup menghasilkan detonasi (ledakan) yang ditandai dengan pelepasan gelombang kejut. Setiap reaktor pada dasarnya memiliki perangkat yang mampu mengalirkan gas hidrogen keluar sebelum konsentrasi berbahaya tercapai. Namun ketiadaan aliran listrik mengakibatkan fungsi perangkat ini tidak berjalan, sementara gas hidrogen telah dialirkan keluar memenuhi ruangan di antara lapisan pengukung pertama dan kedua. Sebagai akibatnya, ketika konsentrasi berbahaya tercapai, ledakan hidrogen tidak dapat dihindari.
Ledakan hidrogen pertama kali terjadi di reaktor unit 1 pada 12 Maret 2011 pukul 13:36 yang menyebabkan atap reaktor (lapisan pengukung kedua) berlubang, sedangkan lapisan pengukung pertama masih utuh (berdasarkan inspeksi setelah kecelakaan). Kejadian di reaktor unit 1 ternyata terjadi juga di reaktor unit 3 yang berujung pada ledakan hidrogen dua hari kemudian 14 Maret 2011 pukul 09:15. Ledakan di reaktor unit 3 mengakibatkan puing-puing berhamburan dan mengenai sistem pendingin reaktor unit 2. Akibatnya, ECCS  reaktor 2 pun tidak dapat berfungsi dan mengakibatkan air dalam reaktor sepenuhnya kosong sehingga pelelahan pun mulai terjadi. Pada akhirnya, ledakan hidrogen di reaktor unit 2 pun terjadi pada 15 Maret 2011 pukul 04:14.

Gambar 3. Beberapa saat setelah Ledakan Hidrogen di Reaktor Unit 3 (DigitalGlobe, 2011)
Pada reaktor unit 4, meski telah dimatikan karena dalam masa perawatan sebelum gempa terjadi dan seluruh batang bahan bakar telah dipindah ke kolam bahan bakar bekas di atas reaktor, pendinginan yang tidak mencukupi membuat air dalam kolam bahan bakar bekas memanas dan mendidih hingga kering. Gas hidrogen pun terbentuk dan lama kelamaan mencapai konsentrasi berbahaya sehingga ledakan hidrogen pun terjadi pada 15 Maret 2011 pukul 04:00. Masih tingginya konsentrasi gas hidrogen mengakibatkan kolam bahan bakar bekas terbakar empat jam kemudian. Ledakan telah mengakibatkan dinding lapisan pengukung kedua berlubang. Berlubangnya dinding dan habisnya air dalam kolam bahan bakar menempatkan reaktor unit 4 sebagai reaktor paling berbahaya selama rangkaian kecelakaan nuklir, karena nyaris tidak ada pelidung lagi antara batang bahan bakar nuklir dengan lingkungan luas.

Dampak Kejadian

Kecelakaan nuklir Fukushima ini pada awalnya dinilai skala 5 dalam INES (Internaional Nuclear Emergency Scale), setara dengan kecelakaan nuklir PLTN Three Mile Island di Pennsylvania (AS) yang sama-sama disebabkan oleh LOCA, namun pada akhirnya ditetapkan menjadi skala 7 (nilai tertinggi) setara dengan kecelakaan Chernobyl. Radiasi di dalam kompleks PLTN Fukushima sempat menyentuh angka 1 juta µSv/ jam atau 3 juta kali lipat dari nilai radiasi natural/ latar, kemudian turun menjadi 0,6 juta µSv/ jam. Pada jarak 20 km dari reaktor, paparan radiasinya 330 µSv/ jam, sedangkan batas aman bagi manusia (pekerja radiasi) adalah 10 µSv/ jam (20 mSv/tahun untuk 2000 jam kerja/tahun). Inilah yang menjadi dasar evakuasi sebanyak 200.000 penduduk radius 20 km dari kompleks PLTN, sementara penduduk pada radius 20 hingga 30 km diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah (sheltering). Namun pada jarak yang lebih jauh, seperti Tokyo, radiasi masih berada di ambang batas normal. Tingkat radiasi di Tokyo tercatat 0,8 µSv/ jam.

Gambar 4. Skala INES untuk Kecelakaan Nuklir
Dampak lain dari kecelakaan ini, pemerintah Jepang menonaktifkan 2/3 dari jumlah reaktor yang ada, sebagian besar dinonaktifkan untuk dilakukan inspeksi. Hal ini menyebabkan krisis energi di Jepang, berlanjut dengan jatuhnya ekonomi Jepang karena membutuhkan impor minyak bumi dan batu bara lebih untuk suplai energi lisrik serta menurunnya kinerja produksi yang semula memiliki tingkat pertumbuhan 35%, turun menjadi 17%. Di samping itu, kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan energi nuklir menurun drastis.


ANALISIS KEJADIAN

Faktor Penyebab

Faktor penyebab kecelakaan ini secara garis besar dapat dibagi 2, yaitu penyebab langsung (direct causes) dan penyebab tidak langsung (indirect causes). Penyebab langsungnya adalah kegagalan sistem pendingin reaktor yang mengakibatkan pelelehan bahan bakar dan ledakan hidrogen. Sedangkan beberapa penyebab tidak langsungnya adalah : seawall yang gagal menghalang gelombang tsunami, koneksi sambungan listrik darurat yang terletak di basement (terendam air), dan kegagalan Emergency Core Cooling System (ECCS) karena tidak adanya pasokan listrik.

Gambar 5. Fault Tree Analysis dari Kecelakaan Nuklir Fukushima (Labib, 2014)

Analisis Kejadian

Analisis kecelakaan reaktor nuklir Fukushima dilakukan dengan mengkaji 16 elemen pencegahan kebakaran dan ledakan (16 Elements for Fire & Explosion Prevention). Dengan menganalisis elemen-elemen tersebut, akan dapat diketahui elemen apa saja yang tidak dipenuhi atau gagal dalam mencegah kejadian kebakaran dan ledakan, sehingga dapat diberikan rekomendasi perbaikan untuk ke depannya.

a.    Program Inspeksi dan Audit

Ancaman tsunami telah dimasukkan ke regulasi keselamatan nuklir lebih dari sepuluh tahun yang lalu, walaupun baru menekankan pada modus proteksi saja. Program inspeksi dan audit telah gagal memberikan rekomendasi prosedur operasi kedaruratan dan petunjuk manajemen kecelakaan parah, seperti bagaimana melindungi teras dan pengukung reaktor jika terjadi tsunami dan tidak ada pasokan listrik.

b.    Layout and Spacing

PLTN pada umumnya membutuhkan pendingin reaktor dalam kapasitas yang besar, di samping itu juga dibutuhkan sirkulasi agar pertukaran panas dapat berjalan dengan baik. Hal itulah yang menyebabkan kebanyakan PLTN dibangun di tepi pantai, karena kapasitas air yang besar, ditambah dengan keuntungan sirkulasi alami gelombang laut yang menjadi penukar panas yang sangat ideal. Tetapi untuk tapak yang berpotensi tsunami, perlu juga diperhatikan proteksi kompleks PLTN dari terjangan gelombang tsunami. Kompleks PLTN Fukushima telah dilindungi oleh seawall setinggi 4 meter, walaupun itu tidak mampu membendung gelombang tsunami yang tingginya di luar dugaan (lebih dari 8 meter). Di samping itu yang menjadi perhatian, terkait dengan layout & spacing, adalah koneksi sambungan listrik darurat yang diletakkan di basement yang sangat rentan terendam bila terjadi banjir atau tsunami.

c.    Control of Ignition Source

Kompleks PLTN Fukushima telah menerapkan Program Manajemen Kecelakaan dengan merestorasi pasokan daya eksternal atau menyediakan generator diesel untuk mencegah kehilangan daya total, walaupun fungsi itu gagal karena diterjang tsunami yang di luar dugaan. Di samping itu, PLTN Fukushima telah memproteksi reaktornya dengan membuat insersi manual batang kendali dan sistem injeksi air asam boric untuk mengatasi kegagalan SCRAM, merestorasi sistem pemindahan panas residu dan spray system manual, instalasi venting containment vessel system untuk mencegah gagal fungsi sistem pemindahan panas, Automatic depressurixation system untuk menurunkan tekanan di reactor vessel, high pressure & low pressure ECCS, dan injeksi air alternatif. Namun kondisi kecelakaan yang beruntun dan di luar prediksi, mengakibatkan manajamen kecelakaan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

d.   Employee Training

Yang terpenting dalam keselamatan nuklir adalah regulasi keselamatan, keamanan, dan safeguards yang bersifat holistik serta mampu mengantisipasi segala kejadian seperti kedaruratan. Sesuai dengan regulasi, setiap fasilitas nuklir wajib mengadakan latihan kedaruratan dalam dan lepas kawasan sekali dalam setahun. Di samping itu, pekerja, operator, dan supervisor telah dibekali pelatihan dasar dan kedaruratan radiasi dan nuklir. Tetapi sepertinya apa yang terjadi kompleks Fukushima benar-benar di luar skenario kedaruratan, akibatnya upaya penanggulangan kedaruratan terkendala dengan keterbatasan kemampuan personil dan peralatan.

e.    Housekeeping

Kejadian di Fukushima tidak menunjukkan kelalaian dalam hal housekeeping, dan tidak ditemukan data terkait housekeeping yang berdampak langsung dengan kejadian.

f.      Investigasi Insiden

Desain kompleks PLTN Fukushima telah dilengkapi dengan seawall. Hal ini tidak terlepas dari investigasi dan kajian yang dilakukan sebelum PLTN ini dibangun. Seawall dibangun untuk membendung gelombang tsunami atau banjir rob yang dapat menggenangi kompleks PLTN. Tetapi ternyata seawall yang dipersiapkan tidak mampu menghadang terjangan tsunami yang tingginya di luar prediksi sebelumnya.
Setelah kejadian Fukushima, banyak reaktor nuklir di Jepang khususnya dan di dunia pada umumnya ditinjau ulang desainnya terkait potensi bencana alam yang dapat terjadi. Setelah kejadian itu, hampir 60% PLTN yang ada di Jepang di-shutdown untuk dilakukan inspeksi.

g.    Inherently Safer Design

Rekator nuklir yang ada di kompleks PLTN Fukushima seluruhnya merupakan reaktor jenis BWR generasi pertama yang merupakan derivasi langsung dari reaktor nuklir kapal selam yang masih membutuhkan sistem pendingin yang aktif walaupun reaktor telah mati. Untuk itu, seluruh reaktor nuklir di kompleks Fukushima dilengkapi dengan sistem pendingin aktif, yang membutuhkan pasokan listrik untuk menggerakkan pompa dan katup-katup. Hal ini justru menjadi biang kegagalan reaktor sewaktu tidak adanya pasokan listrik, karena di reaktor generasi pertama belum dilengkapi dengan sistem pendingin pasif yang tidak membutuhkan pasokan listrik.
Selain sistem pendingin, setiap reaktor nuklir di dunia memiliki desain fisik yang bersifat multi-barrier. Di samping ketahanannya dari gempa bumi, bangunan fisik reaktor nuklir merupakan penghalang-penghalang yang mampu mengukung lepasan radionuklida ke lingkungan dan mampu menahan kebocoran hingga tingkat tekanan tertentu. Tetapi apa yang terjadi di Fukushima, karena kejadian beruntun dan berlangsung cukup lama, hingga tekanan yang ada di dalam gedung reaktor tidak mampu lagi ditahan oleh bangunan fisik yang ada.Sebenarnya sebelum kegagalan-kegagalan dari inherently safer design yang ada, yang paling berkontribusi pada kejadian ini adalah kegagalan inherently safer design dari kompleks PLTN itu yaitu seawall.

h.   Perawatan dan Pemeliharaan

Tidak ditemukan data atau laporan terkait perawatan dan pemeliharaan yang berakibat langsung pada kejadian kecelakaan ini.

i.      Manajemen Perubahan

Tidak dilakukan perubahan fungsi, penggantian instalasi, atau penambahan fasilitas yang berdampak pada kejadian kecelakaan reaktor nuklir di Kompleks Fukushima.

j.      Hazard Material

Hazard material telah diperhitungkan dalam setiap reaktor nuklir. Tetapi akibat tsunami yang di luar dugaan, pengendalian terhadap hazard material mengalami kegagalan.

k.    Surveilen dan Alarm

Dari referensi yang dijadikan rujukan, tidak ada keterangan apakah pada saat kejadian ada alarm yang berfungsi atau tidak. Sepengetahuan penulis, beberapa tahun terakhir ini Jepang telah mengembangkan dan menggunakan WSPEEDI (Worldwide of System Prediction of Environmental Emergency Dose Information) untuk monitoring jarak jauh kondisi seluruh reaktor nuklir yang ada di Jepang dan menjadi peringatan dini jika terjadi operasi abnormal dari reaktor nuklir.

l.      Process Hazard Analysis

Hazard berupa bencana alam (tsunami) telah diantisipasi sebelumnya, tetapi upaya pengendalian yang ada ternyata tidak mampu membendung tsunami yang terjadi. Tidak ditemukan laporan atau data, apakah seawall yang dipersiapkan mengalami perubahan atau tidak sejak PLTN dibangun.

m.  Risk Analysis

Telah dilakukan risk analysis pada reaktor nuklir Fukushima, hal ini dibuktikan dengan upaya pengendalian risiko mulai dari teras reaktor hingga sekitar lingkungan PLTN. Tetapi hasil risk analysis yang telah dilakukan tidak mencukupi untuk mengantisipasi tsunami yang terjadi.

n.    Fire & Explosion Protection dan Equipment Inspection

Kelemahan dari reaktor Fukushima yang merupakan reaktor generasi pertama adalah hanya mengandalkan sistem pendingin aktif yang sangat tergantung  pada pasokan listrik. Di reaktor generasi 3 dan generasi 3+ telah menggunakan sistem pendingin pasif yang memanfaatkan gravitasi dan perbedaan tekanan. Jika tidak ada pasokan listrik, maka sistem pendingin dapat diaktifkan dengan memanfaatkan gravitasi dan perbedaan tekanan.

o.    Impairment Handling

Tidak ditemukan data atau laporan kecelakaan yang terkait langsung dengan impairmnet handling.

p.   Emergency Response

Upaya mitigasi untuk menghindari kegagalan reaktor telah dilakukan dengan menghidupkan generator listrik cadangan dan mendatangkan mobile diesel & accumulator, walaupun kedua upaya ini gagal karena kondisi yang di luar dugaan. Di samping upaya mitigasi yang gagal, komunikasi kedaruratan yang dilakukan pun dinilai gagal meminimalisir masyarakat yang terpapar radiasi. Ada sumber berita yang menyebutkan bahwa pemerintah tidak memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang terjadi. Informasi dari NTSC (Nuclear Safety Technology Center dan WAP (Weather Agency Protection) tidak diberikan kepada masyarakat sewaktu kejadian. Perkembangan dan estimasi risiko yang timbul pun sangat lambat diberikan oleh pemerintah.

REKOMENDASI PERBAIKAN


Dari kecelakaan reaktor nuklir Fukushima, ada pelajaran yang dapat dijadikan rekomendasi perbaikan dalam pengoperasian PLTN :
1.    Pembangunan PLTN selalu melalui tahap studi tapak. Hasil dari studi tapak ini menentukan pengendalian risiko yang harus dilakukan, khususnya untuk mengendalikan risiko ancaman dari bencana alam. Pelajaran dari kecelakaan ini adalah, external barrier berupa seawall seharusnya dibuat beberapa kali lebih tinggi dan lebih kuat dari sejarah gempa dan tsunami yang pernah terjadi.

2.    Kelemahan reaktor nuklir generasi pertama telah banyak diperbaiki pada reaktor nuklir generasi 3 dan generasi 3+, khususnya untuk sistem pendingin pada saat darurat. Yang perlu diperhatikan untuk reaktor generasi pertama yang masih beroperasi adalah meninjau ulang sistem backup pasokan listrik, baik terkait dengan suplai dan koneksinya. Serta menginspeksi secara keseluruhan fungsi sistem mitigasi dan tanggap darurat yang ada di reaktor, dan ini telah dilakukan di Jepang. Terkait dengan seawall, perlu dilakukan kajian berulang dan kontinyu tentang kelayakan konstruksi seawall yang ada. Sangat dimungkinkan untuk menambah konstruksi seawall dengan pertimbangan meningkatkan perlindungan reaktor nuklir dari terjangan gelombang tsunami.
3. Rencana kesiapsiagaan dan kedaruratan nuklir harus disiapkan dengan matang dan dilakukan drill atau latihan secara berkala. Salah satu tujuannya untuk memudahkan koordinasi dalam tanggap darurat, khususnya untuk komunikasi bencana, baik untuk para penanggap darurat maupun untuk masyarakat terdampak.

REFERENSI


Hirano, Masashi., et al.,(2012). Insight from Review and Analysis of the Fukushima Dai-ichi Accident. Journal of Nuclear Science and Technology.
Sitorus Pane, Jupiter., dkk., (2012). Studi Perbandingan Manajemen Kecelakaan Parah TMII, Chernobyl, dan Fukushima. Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir - BATAN.
Sudibyo, Marufin. (2011). Memahami Kecelakaan Nuklir Fukushima.  http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/21/memahami-kecelakaan-nuklir-fukushima-i-348288.html diakses pada 26 Oktober 2014.
Hassard, Harry A., (2013). Assessing the Impact of The Fukushima Nuclear Disaster on Policy Dynamics and the Public Sphere.Procedia Environmental Sciences 17 (2013) 566-575.
Onishi, Yasuo. (2014). Fukushima and Chernobyl Nuclear Accidents' Environmental Assessment and U.S. Hanford Site's Waste Management. Procedia IUTAM 10 (2014) 372-381.
Labib, Ashraf. (2014). Learning How to Learn from Failures : The Case of Fukushima Nuclear Disaster. Probabilistic Safety Assessment and Management PSAM. Honolulu, Hawaii.
Goldberg, Stephen M., Rosner, Robert. (2011). Nuclear Reactors : Generation to Generation. American Academy of Arts and Sciences. Chicago.
--. (2003). Guidelines for Fire Protection in Chemical, Petrochemical, and Hydrocarbon Processing Facilities. Center for Chemical Process Safety. Chapter 4-5.
Schroll R., Craig. (2002). Industrial Fire Protection Handbook. CRC Press. Chapter 4-5.