KRONOLOGIS KEJADIAN
Pendahuluan
Pertama kalinya dalam sejarah, bencana alam
mengakibatkan kegagalan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Itulah
yang terjadi pada kompleks PLTN di kota Okuma yang terletak di distrik Futaba,
prefektur Fukushima (260 km sebelah utara Tokyo) pada 11 Maret 2011 silam. Kompleks
ini merupakan salah satu PLTN tertua dan sekaligus terbesar di dunia, yang
dibangun sejak dekade 1960-an dan selesai pada 1970-an untuk selanjutnya
dioperasikan oleh TEPCO (Tokyo Electric Power Company) kemudian mulai menyuplai
listrik sejak 26 Maret 1971. Di dalam kompleks ini terdapat 6 (enam) buah
reaktor nuklir generasi pertama : unit 1,2, dan 6 diproduksi oleh General
Electric, unit 3 dan 5 diproduksi oleh Toshiba serta unit 4 diproduksi oleh
Hitachi. Reaktor tertua (yakni reaktor unit 1) memiliki daya 460 MWe, sementara
reaktor unit 2 hingga 5 memiliki daya 784 MWe dan reaktor unit 6 memiliki daya
terbesar, yakni 1.100 MWe. Total daya yang dihasilkan dari komplek PLTN
Fukushima adalah 4.696 MWe.
Gambar 1. Kompleks PLTN Fukushima dalam Citra
Satelit sebelum Gempa 11 Maret 2011 (DigitalGlobe, 2011)
Semua
reaktor di kompleks ini bertipe reaktor air mendidih (Boiling Water Reactor/ BWR) yang dikenal sederhana karena hanya
terdiri dari satu jalur pendingin. Jadi air pendingin disirkulasikan ke dalam
reaktor (dengan menggunakan pompa) untuk kemudian mendidih dan memproduksi uap
yang lantas disalurkan keluar reaktor guna memutar turbo generator (gabungan
turbin uap dan generator listrik). Uap bekas yang telah memutar turbogenerator
selanjutnya masuk ke kondenser untuk diubah menjadi air dan diinjeksikan
kembali ke dalam reaktor dengan menggunakan pompa.
Gambar 2. Skema Reaktor Nuklir Tipe Boiling Water Reactor (BWR)
Reaktor-reaktor ini menggunakan bahan bakar Uranium
Oksida berbentuk pellet yang disusun dalam batang bahan bakar (terbuat dari
paduan logam Zirkonium-Alumunium) sejumlah 340 buah (unit 1), 575 (unit 2
hingga 5), dan 810 (unit 6) dalam pola rotasi 5 tahunan dan dikonfigurasikan
tegak pada sebuah kolam yang digenangi air. Air berfungsi sebagai pendingin
sekaligus moderator (bahan pelambat neutron). Di antara batang-batang bahan
bakar ini terdapat batang kendali (control
rod) untuk mengatur fluks neutron (yakni jumlah neutron per cm2
per detik) dalam reaktor. Dengan batang kendali ini, maka daya reaktor bisa
dinaikkan hingga ke tingkat operasional, ataupun diturunkan sesuai kebutuhan,
ataupun dimatikan secara langsung (lewat sistem Safety Control Rod Axe Man/ SCRAM).
Kronologis Kejadian
Gempa
mengguncang Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 pukul 2:46 p.m. dengan kekuatan 9
skala richter. Tiga puluh menit kemudian tsunami menghantam sepanjang pantai
bagian timur laut Jepang. Pada saat itu hanya reaktor unit 1,2, dan 3 yang
beroperasi, sementara reaktor unit 4, 5, dan 6 sedang dalam perawatan sesuai
jadwal. Episentrum gempa berada sejauh 179 km dari kompleks PLTN Fukushima,
namun patahan sumber gempanya tepat berhadapan dengan kompleks ini. Model
getaran Gutenberg-Richter memperlihatkan getaran yang dirasakan kompleks PLTN
Fukushima mencapai skala 8 MMI dengan percepatan tanag 0,5 g. Percepatan ini
hampir 3 kali lipat percepatan maksimum desain reaktor PLTN Fukushima (yakni
0,18 g) namun sejauh itu tidak ditemukan kerusakan. Meski demikian getaran
sangat keras ini merubuhkan menara jaringan tegangan ekstra tinggi sehingga
jaringan listrik setempat padam. (Sudibyo, 2011)
Dinding
laut (sea wall) setinggi 4 meter yang
melindungi kompleks Fukushima yang menghadap ke laut, tidak mampu membendung
terjangan tsunami yang diperkirakan mencapai 8,5 meter. Akibatnya kompleks PLTN
Fukushima terendam. Pada saat terjadi gempa, sistem kendali reaktor secara
otomatis mematikan semua reaktor dengan sistem SCRAM. Padamnya aliran listrik mengakibatkan katup-katup aliran
pendingin digerakkan oleh diesel cadangan, namun ini pun hanya bertahan sekitar
1 jam karena diesel kemudian mati terendam air tsunami. Aliran listrik kemudian
diambil alih oleh accumulator selama
8 jam. Bantuan mobile diesel dan mobile accumulator cadangan segera didatangkan dari PLTN terdekat
yang tidakmengalami gangguan, namun butuh waktu 13 jam pasca gempa untuk
mencapai Fukushima. Bantuan itu pun tuidak langsung tersambung dengan
Fukushima, karena konektornya berada di ruang basement yang terendam air. Akibatnya reaktor unit 1 hanya
mendapatkan pendinginan 9 jam pasca gempa dan setelah itu pendinginan berhenti.
Sistem pendingan darurat ECCS (Emergency Core Cooling System) pun tak
bisa diaktifkan akibat listrik padam. Konsekuensinya panas peluruhan tidak bisa
dialirkan keluar dan berpotensi mengakibatkan kegagalan yang dikenal dengan Loss of Heat Sink Accident (LOHSA) atau Loss of Flow Accident (LOFA).
Akibat
LOHSA, air pendingin reaktor tidak
bisa mengalir sehingga terus terdidihkan hingga menguap oleh panas peluruhan.
Penguapan intensif membuat tinggi permukaan air reaktor terus menyusut dan
suatu saat sampai ke titik di mana bahan bakar mulai tidak terendam air
pendingin. Pada saat itu suhu reaktor sudah mencapai 800 oC. Tidak
terendamnya batang bahan bakar berimplikasi serius, sebab suhu reaktor melonjak
naik hingga mencapai 1000 oC. Pada titik ini, panas telah mampu
melelahkan batang bahan bakar dan isinya, kondisi yang secara teknis disebut Loss of Coolant Accident (LOCA). Dalam fisika reaktor nuklir, LOCA menduduki hirarki tertinggi sebagai
kecelakaan terparah yang membuat sebuah reaktor bisa mati untuk selamanya.
Zirkonium yang meleleh lantas bereaksi secara kimiawi dengan uap air panas
menghasilkan zirkonium oksida dan gas hidrogen, di mana dalam tiap kg zirkonium
yang bereaksi diproduksi 500 liter gas hidrogen. Terbentuknya gas hidrogen
membuat tekanan di dalam reaktor meningkat hingga mencapai 2 kali lipat di atas
normal.
Pada
titik tertentu, campuran air,, udara, dan gas hidrogen cukup berbahaya karena
sanggup menghasilkan detonasi (ledakan) yang ditandai dengan pelepasan
gelombang kejut. Setiap reaktor pada dasarnya memiliki perangkat yang mampu
mengalirkan gas hidrogen keluar sebelum konsentrasi berbahaya tercapai. Namun
ketiadaan aliran listrik mengakibatkan fungsi perangkat ini tidak berjalan,
sementara gas hidrogen telah dialirkan keluar memenuhi ruangan di antara
lapisan pengukung pertama dan kedua. Sebagai akibatnya, ketika konsentrasi
berbahaya tercapai, ledakan hidrogen tidak dapat dihindari.
Ledakan
hidrogen pertama kali terjadi di reaktor unit 1 pada 12 Maret 2011 pukul 13:36
yang menyebabkan atap reaktor (lapisan pengukung kedua) berlubang, sedangkan
lapisan pengukung pertama masih utuh (berdasarkan inspeksi setelah kecelakaan).
Kejadian di reaktor unit 1 ternyata terjadi juga di reaktor unit 3 yang
berujung pada ledakan hidrogen dua hari kemudian 14 Maret 2011 pukul 09:15. Ledakan
di reaktor unit 3 mengakibatkan puing-puing berhamburan dan mengenai sistem
pendingin reaktor unit 2. Akibatnya, ECCS
reaktor 2 pun tidak dapat berfungsi
dan mengakibatkan air dalam reaktor sepenuhnya kosong sehingga pelelahan pun
mulai terjadi. Pada akhirnya, ledakan hidrogen di reaktor unit 2 pun terjadi
pada 15 Maret 2011 pukul 04:14.
Gambar 3. Beberapa saat setelah Ledakan Hidrogen
di Reaktor Unit 3 (DigitalGlobe, 2011)
Pada reaktor unit 4, meski telah dimatikan karena
dalam masa perawatan sebelum gempa terjadi dan seluruh batang bahan bakar telah
dipindah ke kolam bahan bakar bekas di atas reaktor, pendinginan yang tidak
mencukupi membuat air dalam kolam bahan bakar bekas memanas dan mendidih hingga
kering. Gas hidrogen pun terbentuk dan lama kelamaan mencapai konsentrasi
berbahaya sehingga ledakan hidrogen pun terjadi pada 15 Maret 2011 pukul 04:00.
Masih tingginya konsentrasi gas hidrogen mengakibatkan kolam bahan bakar bekas
terbakar empat jam kemudian. Ledakan telah mengakibatkan dinding lapisan
pengukung kedua berlubang. Berlubangnya dinding dan habisnya air dalam kolam
bahan bakar menempatkan reaktor unit 4 sebagai reaktor paling berbahaya selama
rangkaian kecelakaan nuklir, karena nyaris tidak ada pelidung lagi antara
batang bahan bakar nuklir dengan lingkungan luas.
Dampak Kejadian
Kecelakaan
nuklir Fukushima ini pada awalnya dinilai skala 5 dalam INES (Internaional Nuclear
Emergency Scale), setara dengan kecelakaan nuklir PLTN Three Mile Island di
Pennsylvania (AS) yang sama-sama disebabkan oleh LOCA, namun pada akhirnya ditetapkan menjadi skala 7 (nilai
tertinggi) setara dengan kecelakaan Chernobyl. Radiasi di dalam kompleks PLTN
Fukushima sempat menyentuh angka 1 juta µSv/ jam atau 3 juta kali lipat dari
nilai radiasi natural/ latar, kemudian turun menjadi 0,6 juta µSv/ jam. Pada
jarak 20 km dari reaktor, paparan radiasinya 330 µSv/ jam, sedangkan batas aman
bagi manusia (pekerja radiasi) adalah 10 µSv/ jam (20 mSv/tahun untuk 2000 jam
kerja/tahun). Inilah yang menjadi dasar evakuasi sebanyak 200.000 penduduk radius
20 km dari kompleks PLTN, sementara penduduk pada radius 20 hingga 30 km
diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah (sheltering).
Namun pada jarak yang lebih jauh, seperti Tokyo, radiasi masih berada di ambang
batas normal. Tingkat radiasi di Tokyo tercatat 0,8 µSv/ jam.
Gambar 4. Skala INES untuk Kecelakaan Nuklir
Dampak lain dari kecelakaan ini, pemerintah
Jepang menonaktifkan 2/3 dari jumlah reaktor yang ada, sebagian besar
dinonaktifkan untuk dilakukan inspeksi. Hal ini menyebabkan krisis energi di
Jepang, berlanjut dengan jatuhnya ekonomi Jepang karena membutuhkan impor
minyak bumi dan batu bara lebih untuk suplai energi lisrik serta menurunnya
kinerja produksi yang semula memiliki tingkat pertumbuhan 35%, turun menjadi
17%. Di samping itu, kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan energi nuklir
menurun drastis.
ANALISIS
KEJADIAN
Faktor Penyebab
Faktor
penyebab kecelakaan ini secara garis besar dapat dibagi 2, yaitu penyebab
langsung (direct causes) dan penyebab
tidak langsung (indirect causes).
Penyebab langsungnya adalah kegagalan sistem pendingin reaktor yang
mengakibatkan pelelehan bahan bakar dan ledakan hidrogen. Sedangkan beberapa
penyebab tidak langsungnya adalah : seawall
yang gagal menghalang gelombang tsunami, koneksi sambungan listrik darurat
yang terletak di basement (terendam
air), dan kegagalan Emergency Core
Cooling System (ECCS) karena tidak adanya pasokan listrik.
Gambar 5. Fault Tree Analysis dari Kecelakaan
Nuklir Fukushima (Labib, 2014)
Analisis Kejadian
Analisis
kecelakaan reaktor nuklir Fukushima dilakukan dengan mengkaji 16 elemen pencegahan
kebakaran dan ledakan (16 Elements for
Fire & Explosion Prevention). Dengan menganalisis elemen-elemen
tersebut, akan dapat diketahui elemen apa saja yang tidak dipenuhi atau gagal dalam
mencegah kejadian kebakaran dan ledakan, sehingga dapat diberikan rekomendasi
perbaikan untuk ke depannya.
a.
Program
Inspeksi dan Audit
Ancaman
tsunami telah dimasukkan ke regulasi keselamatan nuklir lebih dari sepuluh
tahun yang lalu, walaupun baru menekankan pada modus proteksi saja. Program
inspeksi dan audit telah gagal memberikan rekomendasi prosedur operasi
kedaruratan dan petunjuk manajemen kecelakaan parah, seperti bagaimana
melindungi teras dan pengukung reaktor jika terjadi tsunami dan tidak ada
pasokan listrik.
b. Layout
and Spacing
PLTN
pada umumnya membutuhkan pendingin reaktor dalam kapasitas yang besar, di
samping itu juga dibutuhkan sirkulasi agar pertukaran panas dapat berjalan
dengan baik. Hal itulah yang menyebabkan kebanyakan PLTN dibangun di tepi pantai,
karena kapasitas air yang besar, ditambah dengan keuntungan sirkulasi alami
gelombang laut yang menjadi penukar panas yang sangat ideal. Tetapi untuk tapak
yang berpotensi tsunami, perlu juga diperhatikan proteksi kompleks PLTN dari
terjangan gelombang tsunami. Kompleks PLTN Fukushima telah dilindungi oleh seawall setinggi 4 meter, walaupun itu
tidak mampu membendung gelombang tsunami yang tingginya di luar dugaan (lebih
dari 8 meter). Di samping itu yang menjadi perhatian, terkait dengan layout & spacing, adalah koneksi
sambungan listrik darurat yang diletakkan di basement yang sangat rentan terendam bila terjadi banjir atau
tsunami.
c. Control
of Ignition Source
Kompleks
PLTN Fukushima telah menerapkan Program Manajemen Kecelakaan dengan merestorasi
pasokan daya eksternal atau menyediakan generator diesel untuk mencegah
kehilangan daya total, walaupun fungsi itu gagal karena diterjang tsunami yang
di luar dugaan. Di samping itu, PLTN Fukushima telah memproteksi reaktornya
dengan membuat insersi manual batang kendali dan sistem injeksi air asam boric
untuk mengatasi kegagalan SCRAM,
merestorasi sistem pemindahan panas residu dan spray system manual, instalasi venting
containment vessel system untuk mencegah gagal fungsi sistem pemindahan
panas, Automatic depressurixation system untuk
menurunkan tekanan di reactor vessel,
high pressure & low pressure ECCS,
dan injeksi air alternatif. Namun kondisi kecelakaan yang beruntun dan di luar
prediksi, mengakibatkan manajamen kecelakaan tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
d. Employee
Training
Yang
terpenting dalam keselamatan nuklir adalah regulasi keselamatan, keamanan, dan safeguards yang bersifat holistik serta
mampu mengantisipasi segala kejadian seperti kedaruratan. Sesuai dengan
regulasi, setiap fasilitas nuklir wajib mengadakan latihan kedaruratan dalam
dan lepas kawasan sekali dalam setahun. Di samping itu, pekerja, operator, dan
supervisor telah dibekali pelatihan dasar dan kedaruratan radiasi dan nuklir.
Tetapi sepertinya apa yang terjadi kompleks Fukushima benar-benar di luar
skenario kedaruratan, akibatnya upaya penanggulangan kedaruratan terkendala
dengan keterbatasan kemampuan personil dan peralatan.
e. Housekeeping
Kejadian
di Fukushima tidak menunjukkan kelalaian dalam hal housekeeping, dan tidak ditemukan data terkait housekeeping yang berdampak langsung dengan kejadian.
f. Investigasi Insiden
Desain
kompleks PLTN Fukushima telah dilengkapi dengan seawall. Hal ini tidak terlepas dari investigasi dan kajian yang
dilakukan sebelum PLTN ini dibangun. Seawall
dibangun untuk membendung gelombang tsunami atau banjir rob yang dapat
menggenangi kompleks PLTN. Tetapi ternyata seawall
yang dipersiapkan tidak mampu menghadang terjangan tsunami yang tingginya
di luar prediksi sebelumnya.
Setelah
kejadian Fukushima, banyak reaktor nuklir di Jepang khususnya dan di dunia pada
umumnya ditinjau ulang desainnya terkait potensi bencana alam yang dapat
terjadi. Setelah kejadian itu, hampir 60% PLTN yang ada di Jepang di-shutdown untuk dilakukan inspeksi.
g.
Inherently Safer Design
Rekator
nuklir yang ada di kompleks PLTN Fukushima seluruhnya merupakan reaktor jenis BWR generasi pertama yang merupakan
derivasi langsung dari reaktor nuklir kapal selam yang masih membutuhkan sistem
pendingin yang aktif walaupun reaktor telah mati. Untuk itu, seluruh reaktor
nuklir di kompleks Fukushima dilengkapi dengan sistem pendingin aktif, yang
membutuhkan pasokan listrik untuk menggerakkan pompa dan katup-katup. Hal ini
justru menjadi biang kegagalan reaktor sewaktu tidak adanya pasokan listrik,
karena di reaktor generasi pertama belum dilengkapi dengan sistem pendingin
pasif yang tidak membutuhkan pasokan listrik.
Selain
sistem pendingin, setiap reaktor nuklir di dunia memiliki desain fisik yang
bersifat multi-barrier. Di samping
ketahanannya dari gempa bumi, bangunan fisik reaktor nuklir merupakan
penghalang-penghalang yang mampu mengukung lepasan radionuklida ke lingkungan
dan mampu menahan kebocoran hingga tingkat tekanan tertentu. Tetapi apa yang
terjadi di Fukushima, karena kejadian beruntun dan berlangsung cukup lama,
hingga tekanan yang ada di dalam gedung reaktor tidak mampu lagi ditahan oleh
bangunan fisik yang ada.Sebenarnya sebelum kegagalan-kegagalan dari inherently safer design yang ada, yang
paling berkontribusi pada kejadian ini adalah kegagalan inherently safer design dari kompleks PLTN itu yaitu seawall.
h. Perawatan dan Pemeliharaan
Tidak
ditemukan data atau laporan terkait perawatan dan pemeliharaan yang berakibat
langsung pada kejadian kecelakaan ini.
i.
Manajemen
Perubahan
Tidak
dilakukan perubahan fungsi, penggantian instalasi, atau penambahan fasilitas
yang berdampak pada kejadian kecelakaan reaktor nuklir di Kompleks Fukushima.
j.
Hazard Material
Hazard
material telah diperhitungkan dalam setiap reaktor nuklir. Tetapi akibat
tsunami yang di luar dugaan, pengendalian terhadap hazard material mengalami
kegagalan.
k.
Surveilen
dan Alarm
Dari
referensi yang dijadikan rujukan, tidak ada keterangan apakah pada saat
kejadian ada alarm yang berfungsi atau tidak. Sepengetahuan penulis, beberapa
tahun terakhir ini Jepang telah mengembangkan dan menggunakan WSPEEDI (Worldwide of System Prediction of
Environmental Emergency Dose Information) untuk monitoring jarak jauh
kondisi seluruh reaktor nuklir yang ada di Jepang dan menjadi peringatan dini
jika terjadi operasi abnormal dari reaktor nuklir.
l.
Process Hazard Analysis
Hazard
berupa bencana alam (tsunami) telah diantisipasi sebelumnya, tetapi upaya
pengendalian yang ada ternyata tidak mampu membendung tsunami yang terjadi.
Tidak ditemukan laporan atau data, apakah seawall
yang dipersiapkan mengalami perubahan atau tidak sejak PLTN dibangun.
m. Risk
Analysis
Telah
dilakukan risk analysis pada reaktor nuklir Fukushima, hal ini dibuktikan
dengan upaya pengendalian risiko mulai dari teras reaktor hingga sekitar
lingkungan PLTN. Tetapi hasil risk analysis yang telah dilakukan tidak
mencukupi untuk mengantisipasi tsunami yang terjadi.
n.
Fire & Explosion Protection dan Equipment Inspection
Kelemahan
dari reaktor Fukushima yang merupakan reaktor generasi pertama adalah hanya
mengandalkan sistem pendingin aktif yang sangat tergantung pada pasokan listrik. Di reaktor generasi 3
dan generasi 3+ telah menggunakan sistem pendingin pasif yang memanfaatkan gravitasi
dan perbedaan tekanan. Jika tidak ada pasokan listrik, maka sistem pendingin
dapat diaktifkan dengan memanfaatkan gravitasi dan perbedaan tekanan.
o.
Impairment Handling
Tidak
ditemukan data atau laporan kecelakaan yang terkait langsung dengan impairmnet
handling.
p. Emergency Response
Upaya mitigasi untuk menghindari kegagalan reaktor telah dilakukan dengan menghidupkan generator listrik cadangan dan mendatangkan mobile diesel & accumulator, walaupun kedua upaya ini gagal karena kondisi yang di luar dugaan. Di samping upaya mitigasi yang gagal, komunikasi kedaruratan yang dilakukan pun dinilai gagal meminimalisir masyarakat yang terpapar radiasi. Ada sumber berita yang menyebutkan bahwa pemerintah tidak memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang terjadi. Informasi dari NTSC (Nuclear Safety Technology Center dan WAP (Weather Agency Protection) tidak diberikan kepada masyarakat sewaktu kejadian. Perkembangan dan estimasi risiko yang timbul pun sangat lambat diberikan oleh pemerintah.
REKOMENDASI
PERBAIKAN
Dari
kecelakaan reaktor nuklir Fukushima, ada pelajaran yang dapat dijadikan
rekomendasi perbaikan dalam pengoperasian PLTN :
1. Pembangunan
PLTN selalu melalui tahap studi tapak. Hasil dari studi tapak ini menentukan
pengendalian risiko yang harus dilakukan, khususnya untuk mengendalikan risiko
ancaman dari bencana alam. Pelajaran dari kecelakaan ini adalah, external barrier berupa seawall seharusnya dibuat beberapa kali
lebih tinggi dan lebih kuat dari sejarah gempa dan tsunami yang pernah terjadi.
2. Kelemahan
reaktor nuklir generasi pertama telah banyak diperbaiki pada reaktor nuklir
generasi 3 dan generasi 3+, khususnya untuk sistem pendingin pada saat darurat.
Yang perlu diperhatikan untuk reaktor generasi pertama yang masih beroperasi
adalah meninjau ulang sistem backup pasokan listrik, baik terkait dengan suplai
dan koneksinya. Serta menginspeksi secara keseluruhan fungsi sistem mitigasi
dan tanggap darurat yang ada di reaktor, dan ini telah dilakukan di Jepang. Terkait
dengan seawall, perlu dilakukan kajian berulang dan kontinyu tentang kelayakan
konstruksi seawall yang ada. Sangat dimungkinkan untuk menambah konstruksi
seawall dengan pertimbangan meningkatkan perlindungan reaktor nuklir dari
terjangan gelombang tsunami.
3. Rencana kesiapsiagaan dan kedaruratan nuklir
harus disiapkan dengan matang dan dilakukan drill
atau latihan secara berkala. Salah satu tujuannya untuk memudahkan
koordinasi dalam tanggap darurat, khususnya untuk komunikasi bencana, baik
untuk para penanggap darurat maupun untuk masyarakat terdampak.
REFERENSI
Hirano, Masashi., et
al.,(2012). Insight from Review and
Analysis of the Fukushima Dai-ichi Accident. Journal of Nuclear Science and
Technology.
Sitorus Pane,
Jupiter., dkk., (2012). Studi Perbandingan Manajemen Kecelakaan Parah TMII,
Chernobyl, dan Fukushima. Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir -
BATAN.
Sudibyo,
Marufin. (2011). Memahami Kecelakaan Nuklir Fukushima. http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/21/memahami-kecelakaan-nuklir-fukushima-i-348288.html
diakses pada 26 Oktober 2014.
Hassard,
Harry A., (2013). Assessing the Impact of The Fukushima Nuclear Disaster on
Policy Dynamics and the Public Sphere.Procedia Environmental Sciences 17
(2013) 566-575.
Onishi,
Yasuo. (2014). Fukushima and Chernobyl Nuclear Accidents' Environmental
Assessment and U.S. Hanford Site's Waste Management. Procedia IUTAM 10 (2014)
372-381.
Labib,
Ashraf. (2014). Learning How to Learn from Failures : The Case of Fukushima
Nuclear Disaster. Probabilistic Safety Assessment and Management PSAM.
Honolulu, Hawaii.
Goldberg,
Stephen M., Rosner, Robert. (2011). Nuclear Reactors : Generation to
Generation. American Academy of Arts and Sciences. Chicago.
--.
(2003). Guidelines for Fire Protection
in Chemical, Petrochemical, and Hydrocarbon Processing Facilities. Center for
Chemical Process Safety. Chapter 4-5.
Schroll
R., Craig. (2002). Industrial Fire
Protection Handbook. CRC Press. Chapter 4-5.
Boleh di share lagi tentang Pengelolaan Risiko Ergonomis dan Pengelolaan Risiko Kesehatan Kimia, Terima kasih
BalasHapusberbagi utk kebaikan dan kepentingan bersama. silahkan :) terima kasih telah berkunjung
BalasHapus